Moga Menjadi Manfaat

Berharap menjadi Hamba-Nya yang terus menebar kebaikan... Menebar manfaat dan Ilmu... Semoga bisa menjadi amal baik tuk di akhirat nanti... Amin...

Tuesday, March 06, 2007

Children Learn What They Live (Terjemahan Buku) Bagian 3

Bab 3. Jika Anak-anak Dibesarkan Dengan Rasa Takut, Mereka Belajar Jadi Pengecut

Anak-anak senang bermain dengan bumbu rasa takut. Mereka bersenang-senang dengan permainan hantu-hantuan dan senang dengan cerita-cerita hantu dan film horor. Saya ingat ketika saya kecil, saya biasa pergi kerumah teman setiap Jumat malam. Kami berkumpul mengeliling radio dengan lampu dimatikan. Kami mendengarkan sebuah acara berjudul "Kisah-kisah Nenek Sihir" yang mungkin kedengarannya tidak seram zaman sekarang, tetapi bagi kami menakutkan. Bagian paling sulit dan juga paling menegangkan adalah berpura-pura tidak takut ketika kami berjalan pulang dalam kegelapan setelah acara itu usai. Kami mengalami derasnya adrenalin karena rasa takut mendebarkan, membayangkan apa yang menunggu di bayang-bayang. Sementara itu kami mengetahui dalam lubuk hati bahwa kami aman sama sekali dan akan segera tiba di rumah yang nyaman dan terang-benderang.

Hidup dalam rasa takut yang nyata merupakan cerita berbeda, baik itu berupa ancama kekerasan fisik, penganiayaan psikis, penelantaran, penyakit parah, atau rasa takut yang tampaknya sepele seperti adanya anak jahat di dekat rumah atau monster di bawah tempat tidur. Hidup dengan rasa takut yang nyata setiap hari menghancurkan rasa percaya diri anak dan perasaan selamatnya yang mendasar. Rasa takut menggoyahkan lingkungan mendukung yang dibutuhkan anak untuk tumbuh, berkembang, dan belajar, menyebabkan ia dengan perasaan tidak aman yang bercokol, rasa was-was menyeluruh yang dapat merusak jalannya berhubungan dengan orang-orang dan ketika menghadapi situasi baru.

Hal-hal Yang Seram di Malam Hari
Banyak sumber-sumber ketakutan yang nyata bagi kehidupan anak-anak mengherankan orang tua mereka. Anak-anak dapat sungguh-sungguh takut pada hal-hal yang biasa saja bagi orang dewasa, misalnya pada anjing baru di lingkungan atau pohon besar tua yang dahan-dahannya mati. Mereka bisa takut karena ungkapan tertentu. Seorang anak tiga tahun bertanya pada ibunya, "Ibu, apakah badan Ibu akan hancur? Ibu bilang begitu pada Bibi." Kadang-kadang anak kecil memahami ungkapan secara literal. Anak kecil ini membutuhkan penjelasan dari ibu tentang maksud ungkapannya, dan juga sebuah pelukan hangat untuk menenangkannya.


Tidak peduli apa alasannya, jika anak Anda takut, situasi itu perlu ditanggapi serius. Rasa takut tergantung pada mata pemiliknya, dan kita perlu melihat dunia dari perspektif anak kita. Mengatakan hal-hal seperti, "Jangan konyol," "Itu nggak ada apa-apanya," "Jangan seperti anak kecil," "Jangan cengeng,"hanya menyepelekan anak itu, mendorong rasa takutnya ke bawah tanah di mana rasa takut itu terus tumbuh.

Dalam kelompok belajar orang tua yang saya kelola, peserta sering bertanya pada saya, "Bagaimana saya tahu perbedaan antara anak yang takut dan anak yang cuma cari perhatian?" Jawabannya, Anda memang tidak tahu. Orang tua tidak perlu khawatir berlebihan mengenai apakah mereka dipermainkan oleh kebutuhan emosional anak. Kebutuhan anak Anda akan perhatian adalah sama pentingnya dengan kebutuhannya makan atau tidur. Dan kadang-kadang anak-anak merasa takut sekaligus butuh perhatian.

Adam, 3 tahun, merupakan contoh baik. Keluarganya baru saja pindah ke rumah baru, ia baru saja masuk TK, dan adik bayinya baru saja lahir. Semua ini merupakan perkembangan membahagiakan bagi orang tuanya. Tetapi bagi Adam, ia merasa hidupnya berakhir. Ia merasa dunianya jungkir balik. Suatu hari, ketika ibu sedang pergi, Adam datang ke ayahnya dengan permintaan yang tidak biasa.

"Aku takut. Lindungi aku," tangisnya.
Ayahnya mungkin menjawab,"Melindungi kamu? Dari apa? Kamu kan sudah jadi kakak sekarang. Kamu tidak boleh penakut, dong," dan menyuruh Adam kembali ke tempat tidurnya sendirian.


Tetapi, ayah Adam bijaksana. Ia mengerti. "Melindungimu? Tentu saja, tidak masalah," jawabnya. "Mari tidur di sebelah Ayah. Kita akan aman bersama-sama." Kata-katanya yang pengertian dan kedekatan fisik memberikan Adam pelipur yang ia butuhkan untuk melalui saat-saat sulit dan maju terus.

Orang tua bahkan bisa secara ajaib menyingkirkan rasa takut anak-anak yang lebih besar. Dua bersaudara, umur enam dan delapan, merasa ketakutan dengan hantu di loteng. Ibu mereka menyimpan sapu tua dalam lemari bajunya untuk saat-saat seperti itu. Apabila anak-anak menerobos masuk ke kamarnya, ketakutan dan melotot, ibu akan dengan tenang mengambil sapu itu dari lemari dan berlari mengelilingi rumah sambil memutar-mutar sapu seperti senjata berbahaya, dan berteriak sekuat tenaga. Anak-anak akan lari mengikutinya, tertawa-tawa senang dan yakit bahwa ibu sedang mengusir semua makhluk mengerikan keluar dari rumah.

Ketika Keajaiban Tidak Berdaya
Tentu saja, ada waktu-waktu ketika tidak ada jalan ajaib untuk melindungi anak-anak dari rasa takutnya. Tidak ada sapu atau pelukan hangat yang akan menghapus rasa takut atau kesedihan yang datang ketika keluarga menderita krisis nyata. Saat-saat terburuk bagi anak-anak adalah ketika struktur atau rutinitas keluarga terganggu secara fundamental. Anak-anak bergantung pada irama kehidupan keluarga yang tetap konsisten, dan ketika sebuah krisis terjadi, mereka dapat merasa dunia mereka berantakan.


Selain kematian orang tua, perceraian barangkali hal paling menakutkan dalam hidup anak. Banyak anak yang hidup dengan ketakutan akan perceraian, baik rasa takut itu realistis atau hanya bayangan mereka. Mendengarkan orang tua mengeluh tentang pasangannya meningkatkan rasa takut orang tuanya akan bercerai di dalam pikiran anak. Di balik rasa takut akan perceraian adalah rasa takut anak ia akan ditelantarkan. Anak percaya jika salah satu orang tua pergi, ia juga akan ditinggalkan.

Selama perceraian, anak-anak merasa mereka kehilangan kendali atas dunia mereka. Salah satu tantangan terbesar bagi orang tua yang bercerai adalah memilih untuk bertindak sesuai kepentingan terbaik bagi anak, tidak perduli betapa mereka terluka, frustrasi, dan marah satu sama lain. Anak-anak dengan sendirinya terjebak di tengah-tengah, sehingga terserah pada orang tua untuk menyatakan damai jika bersangkutan soal anak. Ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan, terutama ketika orang tua sedang marah dan bertengkar. Tetapi ini juga merupakan waktu di mana anak Anda perlu pelipur bahwa apa pun yang terjadi, kalian berdua masih orang tuanya, dan kalian bersama-sama akan merawat anak-anak.

Setiap krisis keluarga dirasakan oleh anak-anak meskipun mereka tidak sepenuhnya mengerti. Ketika mencuri dengar ayahnya akan dipecat, Lina ketakutan bahwa keluarga mereka akan jadi gelandangan dan kelaparan. Ayah menjelaskan padanya, "Kita akan cari cara agar semua beres. Kita mungkin harus memotong pengeluaran untuk sementara, tetapi kita akan bertahan." Perkataan ayah memberikan Lina kesempatan untuk bertindak berani dan menolong keluarga. "Kalau begitu aku tidak butuh sepatu baru. Yang lama masih bisa dipakai," katanya.

Rasa Takut Kita Bagi Anak-Anak
Anak-anak menyerap rasa takut orang tua, seringkali tanpa kita sadari. Sebaiknya kita mulai menyadari betapa seringnya kita membuat pernyataan yang diawali dengan "Aku takut..." atau "Jangan-jangan..." atau "Mungkin orang itu nggak akan..." atau "Ibu khawatir...". Jika anak-anak secara rutin mendengar komentar-komentar kekhawatiran, mereka cenderung menumbuhkan pola berpikir khawatir. Harapan-harapan dibentuk melalui pengulangan. Pemikiran negatif juga dapat dengan cepat menjadi lingkaran setan. Kita semua pernah mengenal orang-orang yang terjebak dalam spiral pemikiran negatif. "Aku mengharapkan yang terburuk, dan entah kenapa aku jadi sial melulu."


Sayang sekali, orang tua zaman sekarang memiliki lebih banyak ketakutan bagi anak-anak daripada sebelumnya. Kita menghadapi dilema untuk memikirkan bagaimana melindungi dan memperingati anak-anak terhadap bahaya tanpa menanamkan rasa takut berlebihan pada mereka. Contoh, kita ingin anak-anak berhati-hati dengan orang asing tetapi jangan sampai menganggap semua orang yang tidak mereka kenal jahat atau akan mencederai mereka. Kita ingin mengawasi mereka setiap saat, tetapi jangan sampai merasa tidak berdaya jika kita tidak ada di sisi mereka. Membesarkan anak agar percaya diri dan pada saat sama berupaya sebaik mungkin agar mereka tidak terancam bahaya merupakan tantangan besar.

Tidak ada jawaban praktis untuk dilema ini. Orang tua harus menimbang sendiri bagaimana menjawab pertanyaan anak, seberapa besar kebebasan dapat diberikan pada anak, dan pada usia berapa tahun. Ketika Alisa, 4 tahun, minta izin bermain ke taman, dan karena akan ada orang-orang tidak dikenal di sana, ibunya menjawab dengan tenang, "Ya, Alisa. Ibu akan ada bersama kamu dan menjagamu." Ketika Ken, 10 tahun, mengumumkan bahwa ia ingin jalan ke sekolah sendirian, orang tuanya harus menyeimbangkan rasa takut mereka tentang anaknya yang sendirian di jalan raya dengan keinginan mereka untuk menumbuhkan kemandirian anaknya.

Rasa takut lainnya sebagai orang tua, adalah anak-anak akan menderita seperti kita di usia mereka. Memasukkan jati diri kita ke dalam diri anak (over identifikasi) bisa mengarahkan kita berlaku tidak benar. Ayah Cipto sangat bersemangat soal sepak bola menyebabkan orang-orang sebal dengan obsesinya -dari istrinya, pelatih, hingga anaknya yang berumur tujuh tahun. Ayahnya menjelaskan pada saya begini. "Saya tidak atletik ketika seumur Cipto. Saya ingat selalu jadi anak terakhir yang dipilih masuk tim. Saya sedih sekali. Saya takut hal yang sama akan terjadi pada Cipto."

Cipto perlu diizinkan untuk menjelajah kemampuan atletiknya sendiri tanpa beban kenangan masa lalu ayahnya. Singkatnya, ayah perlu mundur dan memberikan anaknya kesempatan memiliki pengalamannya sendiri. Kita harus ingat anak-anak berbeda dengan kita, dan mereka punya hak menderita kesedihan mereka sendiri.

Rasa Takut Sehari-hari
Anak-anak hidup dalam dunia berbeda dengan orang dewasa. Mereka tidak selalu berbicara tentang apa yang terjadi. Mudah bagi orang tua untuk tidak menyadari hal-hal yang menakutkan anak-anak setiap hari. Contohnya, banyak anak-anak yang hidup dalam ancaman 'dikerjain' oleh anak-anak lain di sekolah, di lingkungan sekitar rumah, atau bahkan oleh saudara kandung di rumah. Mungkin mereka dipukuli, diancam, diejek, atau digoda. Anak-anak kecil mungkin tidak tahu bagaimana menyatakan rasa takut dan sakit hati mereka, dan anak-anak besar mungkin merasa mereka seharusnya bisa menangani masalah sendiri. Kita perlu menyediakan waktu untuk bertanya pada anak-anak bagaimana pergaulan mereka dengan anak-anak lain dan hidup mereka.


Ibu bertanya secara santai pada Andi, anaknya yang berusia 5 tahun, "Apa yang terjadi di sekolah hari ini?" (Pengaturan kata-kata semacam ini lebih menghasilkan banyak informasi daripada pertanyaan yang lebih luas seperti ,"Bagaimana sekolah hari ini?")
"Joni mengambil mobilku. Padahal aku sudah pegang duluan."
"Lalu apa yang terjadi?"
Andi menunduk dan bergumam, "Nggak ada. Aku nggak tahu musti gimana."
Sekarang, Ibu menyadari bahwa Joni menjadi momok bagi anaknya. Ibu mencoba menolong Andi menemukan cara menghadapi temannya itu. "Ibu bayangkan tidak enak rasanya Joni merampas mobilmu. Menurutmu apa yang harus kamu lakukan?"tanya Ibu, memberikan kesempatan untuk mencari cara baru menangani situasi sulit itu.


Andi menjawab mungkin ia akan merebut kembali mobilnya, melaporkan pada guru, bermain dengan mainan lain, menjauhi Joni, dan bergabung dengan teman-teman lain. Ibu tidak perlu memerintahkan Andi apa yang dia harus lakukan. Ia hanya perlu mendengar dan membantu Andi menjelajah berbagai alternatif selain "Aku nggak tahu musti gimana." Menolongnya juga bisa dengan bertanya,"Bagaimana akhir yang kamu inginkan?"
Andi mungkin menjawab, "Aku mau mobilku kembali."


Setelah anak menjelaskan apa yang ia inginkan, ia dapat mulai mengembangkan rencana membangun. "Aku pikir aku akan mengambil mobil-mobilan itu pagi-pagi sekali, dan jika Joni mencoba mengambilnya, aku akan bilang, 'Nggak boleh'"

Bagi banyak anak kecil, menghadapi situasi baru itu menakutkan. Hari pertama sekolah, hari pertama ke dokter gigi, pertama kali naik pesawat terbang dapat membuatnya kewalahan. Kita dapat menolong anak-anak melalui pengalaman penting ini dengan cara banyak-banyak memberikan dorongan dan dukungan. Menyatakan rasa percaya kita pada anak-anak merupakan cara yang baik sekali untuk mengajari mereka percaya pada diri mereka sendiri. Perhatikanlah reaksi fisik pada wajah dan sikap anak Anda ketika Anda mengatakan, "Kamu akan baik-baik saja. Saya tahu kamu bisa."

Anak-anak yang lebih kecil mungkin membutuhkan persiapan bagi situasi pertama kali, seperti mengunjungi ruangan kelas TK baru sebelum sekolah benar-benar mulai. Setelah ia menjelajah semua area belajar di kelas, ibunya bertanya, "Apa yang ingin kamu lakukan dulu?"
"Memberi makan ikan," jawab Sinta tanpa ragu, seolah-olah telah mengambil langkah besar membayangkan dirinya di sekolah.


Sumber rasa takut lain bagi beberapa anak adalah televisi dengan menu harian yang penuh kekerasan di berita, film, iklan, dan acara dramatis lain. Anak-anak kecil bisa saja tidak mampu membedakan kenyataan dan adegan fiktif, dan perlu dilindungi dari kedua hal ini. Anak-anak yang lebih besar bisa menonton kecelakaan, trauma, kekerasan, dan pembunuhan yang disajikan TV dan tidak terpengaruh, sementara ada pula anak-anak yang menjadi ketakutan dan terobsesi dengan adegan-adegan begitu. Kita perlu menilai kemampuan anak-anak untuk menangani kekerasan TV dan kemudian membatasi apa yang mereka tonton.

Semua Orang Merasa Takut.. Kadang-Kadang
Sebagai orang tua, kita ingin merasa kuat untuk anak-anak kita. Kita ingin mereka merasa mereka bisa mengharapkan kita agar membuat mereka merasa aman. Tetapi kita perlu memiliki keberanian untuk merasa rapuh dan berbagi saat-saat ketika kita sendiri merasa ketakutan seperti Singa Pengecut dalam Penyihir dari Oz. Kita semua merasa takut lagi dan lagi.


Yang membuat perbedaan, adalah bagaimana kita menangani rasa takut. Ini menolong anak-anak kita belajar bahwa kita manusia, dan bagian menjadi manusia adalah manusia tidak ada yang sempurna, dan kita semua butuh dukungan dan pelipur kadang-kadang. Rasanya luar biasa menenangkan ketika sebuah tangan kecil menepuk punggung kita di tengah sebuah pelukan.

Pipit, 8 tahun, tahu bahwa ibunya khawatir soal janji dengan dokter hari itu. Pipit tidak mengetahui detilnya, dan memang ia tidak harus tahu karena terlalu sulit untuk dimengerti anak-anak.Tetapi pagi itu, ketika Ibu memeluknya sebelum pergi sekolah, Pipitlah yang memeluk Ibu erat-erat untuk menghiburnya. Ibu merasakan perbedaan dalam pelukannya dan dengan wajah terkejut ia berkata, "Terima kasih, Pipit. Ini sangat menolong."

Anak-anak kita belajar menangani rasa takut mereka dengan mengamati bagaimana kita menangani rasa takut kita sendiri. Biarkan mereka melihat cara kita mencari dukungan dari pasangan kita, teman-teman, dan keluarga ketika kita membutuhkannya, dan bagaimana di saat lain kita menawarkan dukungan dan penghiburan sebagai balasan. Bagaimana kita mengenali perasaan dan menemukan solusi kreatif selama masa-masa sulit merupakan teladan bagi anak yang akan mereka ikuti ketika mereka menghadapi krisis mereka sendiri.

Sumber : fahima

Thursday, March 01, 2007

Children Learn What They Live (Terjemahan Buku) Bagian 2

BAB 2. Jika Anak-anak Dibesarkan Dengan Kekerasan, Mereka Belajar Berkelahi

Kebanyakan dari kita tidak menganggap diri sendiri suka kekerasan. Kita tahu kita tidak seperti keluarga penganiaya kejam yang masuk berita utama dalam berita lokal. Tetapi siapa tahu? Kita bisa saja menciptakan atmosfer kekesalan terpendam di rumah dengan kemarahan yang tidak tersalurkan yang mungkin bocor ke dalam dinamika keluarga dan meledak sewaktu-waktu.
Memang budaya kita menawarkan banyak contoh kekerasan dan perkelahian.


Saat ini, ada perang sedang berlangsung di suatu tempat. Di negara kita sendiri, kekerasan karena SARA, kekerasan dalam rumah tangga, perang antar kelompok berandal, dan sebagainya menjadi bagian kesadaran kita setiap hari. Anak-anak terpapar pada ribuan jam adegan-adegan perkelahian dan kekerasan melalui TV dan film. Kekerasan dapat meledak, bahkan pada kehidupan sehari-hari bagi sementara anak, antara saudara kandung di rumah, kawan sekelas di sekolah, dan antara orang-orang yang tidak saling mengenal di jalan, ketika menyetir mobil, atau di lingkungan sekitar rumah. Anak-anak juga mungkin melihat atau mendengar orang tua bertengkar satu sama lain, dengan atasan kerja, atau tetangga.

Hidup dalam suasana kekerasan membuat anak-anak merasa tidak berdaya. Ada anak-anak yang bereaksi dengan menjadi kuat dan bersikap menantang, selalu siap menghadapi masalah atau bahkan pergi mencari masalah. Anak-anak lain menjadi takut berkelahi sehingga mereka menghindari semua jenis konflik, bahkan konfrontasi kecil sekali pun. Peranan-peranan ini dijalankan di setiap lapangan bermain sekolah dasar.

Pola agresi dalam keluarga mengajarkan anak-anak bahwa berkelahi merupakan hal yang perlu, sebuah penyelesaian semua masalah. Anak-anak mungkin tumbuh dengan menganggap bahwa hidup akan menjadi pertempuran, bahwa mereka tidak akan diperlakukan adil tanpa berkelahi, atau mereka harus berkelahi untuk bertahan hidup. Ini bukan yang kita inginkan untuk anak-anak kita. Bagaimana cara kita, sebagai orang tua, menyelesaikan perbedaan kita dan menangani krisis keluarga menjadi persiapan bagi anak-anak untuk belajar bagaimana cara menangani konflik - apakah dengan kekerasan dan perkelahian destruktif ataukah dialog dan perjanjian yang konstruktif.

Memuncaknya Huru Hara
Biasanya hal-hal kecil sehari-hari lah yang membuat kita kesal. Frustrasi kita menggunung dan kadang-kadang kemarahan kita meledak, bukannya tentang suatu hal yang penting, tetapi pada hal-hal yang menjadi "pemicu terakhir." Kita hilang kesabaran dengan bertumpuknya stres, sering kali ketika keluarga sedang berkumpul kembali, capek dan lapar, pada akhir suatu hari yang panjang.


Firdaus (4 tahun) mengalami hari yang mengesalkan di TK. Ia tidak mendapat giliran bermain komputer dan ia merasa gurunya tidak membuat anak-anak berbagi dengan adil. Kemudian ayah terlambat menjemputnya karena keadaan darurat di kantor.

Pada perjalanan pulang, Ayah bertanya, "Bagaimana sekolahmu?" pura-pura riang dan tertarik, meskipun sebenarnya ia capek, tergesa-gesa, dan memikirkan hal lain.
"Biasa," jawab Firdaus segera dari kursi belakang mobil, memandang kosong ke luar jendela. Radio menyiarkan berita. Lalu lintas berjalan pelan.


Ketika mereka tiba di rumah, Ibu sibuk mondar-mandir di dapur untuk menyiapkan makan malam. Berita sekilas info sedang ditayangkan di TV kecil dekat meja dapur. Semua orang kelaparan. Ketika Firdaus membuka jaketnya, tidak sengaja ia menyenggol kotak makan siangnya dari atas meja. Remah-remah sisa makanan berhamburan di lantai.

Situasi ini barangkali familiar, dan mudah membayangkan apa yang terjadi selanjutnya. Banyak di antara kita hidup dalam jadwal yang padat dan kita tahu bagaimana sulitnya melakukan semua tuntutan terhadap kita. Bagaimana baiknya kita menangani stres tergantung pada kemampuan kita menghadapi perasaan tidak sabar, tidak puas, sebal, dan kesal pada saat-saat tegang. Perasaan-perasaan "yang lebih kecil"ini perlu disadari dan dihadapi dengan cara kreatif ketika muncul atau perasaan begini akan menumpuk seiring waktu, dan menjadi perasaan "besar" - mula-mula kekesalan kecil kemudian kemarahan besar yang dapat meledak pada saat-saat kritis.

Untunglah, dalam kasus ini, Ibu mampu menangani kekesalan awalnya dan menguasai situasi dengan baik. Ia menyerahkan Firdaus sebuah tempat sampah dan sapu, sembari berkata, "Nggak apa-apa, Sayang. Nih, pakai ini buat ngeberesin."
Kemudian, setelah mengangkat ayam dari kompor, ibu berlutut di dekatnya dan memberi semangat, "Tinggal dikit lagi kamu sudah selesai nih. Sini, sisanya biar Ibu yang kerjain." Ibu mengambil alih sapu dan menyapu sisa-sisa remah makanan ke dalam tong sampah yang dipegang Firdaus. Ia tersenyum berterima kasih.


Kita semua tahu kejadian begini dapat mudah sekali berlanjut menjadi akhir berbeda. Setelah menjatuhkan kotak makanannya, Firdaus bisa saja meledak frustrasi dan berteriak, "Aku benci kotak jelek ini! Aku benci sekolah!" Ibu bisa saja menyalahkan Ayah atas kecelakaan itu, dengan berteriak, "Kok kamu tega sih membiarkan Firdaus di sini padahal aku kan lagi masak!" atau mengkritik Firdaus, dengan membentaknya, "Berantakan lagi! Kapan kamu bisa hati-hati?"

Lebih baik menghadapi perasaan frustrasi kita, meskipun sasarannya adalah diri sendiri, ketika perasaan itu muncul, karena anak-anak belajar menangani perasaan yang meningkat dari ketidaksabaran menjadi bentakan selanjutnya perkelahian terbuka dengan mengamati bagaimana kita menangani perasaan kita. Menariknya, kita bisa belajar cara-cara meredakan ketegangan dari anak-anak yang lebih muda.

Ketika anak-anak secara spontan berhenti melakukan sesuatu, dan berpindah ke kegiatan yang menghabiskan energi -seperti berlari, menggambar, atau bermain dengan boneka- mereka secara naluriah menyalurkan rasa frustrasi. Daripada meledak marah, kita bisa mencoba menyalurkan rasa marah pada kegiatan fisik -pergi berjalan sebentar, menggali di kebun, atau mencuci mobil. Jika kita tidak punya waktu berganti kegiatan, kita bisa memusatkan diri pada pernapasan, menarik napas perlahan dan menghitung sampai 10, seperti yang dilakukan orang tua zaman dulu. Tujuannya adalah melepaskan ketegangan dan kembali pada perasaan bahwa kita mampu menguasai diri. ini tidak hanya menolong kita melewati masa-masa tegang, tetapi juga memberikan contoh baik pada anak-anak kita.

Pada saat-saat anak-anak tidak menyalurkan ketegangan mereka secara alami, kita dapat mengajari mereka untuk menangani perasaan mereka melalui permainan membayangkan. Setelah hari yang melelahkan di TK, ibu Firdaus bisa bertanya padanya, "Hari ini kamu main jadi binatang apa?" Dia mungkin menjawab, "Aku mau mengaum seperti singa." Ibu dapat menimpali dengan bertanya lagi sekarang ia ingin jadi binatang apa di rumah, dan mungkin ia akan menjawab, "Sekarang aku ingin jadi anak kucing yang bulunya halus." Jawaban semacam ini memberitahukan pada ibu bahwa anaknya membutuhkan pelukan dan curahan kasih sayang setelah satu hari yang sulit.

Menangani Mega Mendung
Anak-anak memiliki hak mendasar untuk mengenali dan menyatakan perasaan mereka, termasuk perasaan marah, seperti juga orang dewasa. Ini bukan berarti mereka berhak mengganggu atau melukai orang lain atau menghancurkan barang-barang. Perilaku tertentu, termasuk memukul, menendang, menggigit, dan mendorong hingga jatuh tidak boleh dibiarkan, dan harus memiliki konsekuensi tindakan disipliner.


Anak-anak lebih kecil terutama membutuhkan kita dalam belajar menyatakan perasaan mereka dengan kata-kata daripada membiarkan mereka bertindak didorong perasaan itu. Sebagai orang tua, kita perlu menerima dan menghormati perasaan-perasaan frustrasi anak-anak sembari tetap mempertahankan aturan dan batasan tingkah laku. Menemukan keseimbangan yang konsisten merupakan tantangan.

Selama siang hari, Ibu menyela pertengkaran antara putrinya yang berumur 9 tahun, Tina, dan seorang teman yang datang bertamu. "Tidak baik marah pada temanmu," kata Ibu. "Kalian berdua, hentikan itu."

Setelah itu, Ibu membentak Tina karena tidak menyikat giginya. Tina menjawab dengan mengatakan,"Tidak baik marah pada anakmu." Ibu marah sekali.

Jika Ibu bisa berhenti sejenak dan menarik napas panjang, ia akan menyadari bahwa Tina tidak sedang mengejek atau merendahkan Ibu. Ia hanya mendebat ibunya dengan perintahnya yang tidak konsisten. Tina mempertanyakan bahwa orang dewasa boleh marah, tetapi anak-anak tidak; atau orang lain boleh marah padanya sedangkan ia tidak. Ia berhak mempertanyakan: standar ganda semacam ini bukanlah hal yang ingin kita ajarkan pada anak-anak.

Saya menyarankan bahwa orang tua mengizinkan anak-anak untuk mendefinisikan perasaan mereka sendiri. saty cara menolong mereka adalah menggantikan pernyataan dengan pertanyaan. Daripada bilang, "Ibu tahu kamu marah mengenai..." cobalah katakan, "Kenapa kamu tidak senang tentang...?" atau "Apa yang bikin kamu marah soal..?" Kemudian timpali dengan, "Apa yang dapat membuatmu lebih tenang tentang itu?" Dengan begitu anak-anak dapat memilah-milah perasaan mereka dan menemukan berbagai cara untuk menanganinya.

Mega Mendung Kita Sendiri
Bagaimana kita menangani perasaan tidak sabar, kesal, dan marah merupakan contoh yang lebih kuat bagi anak-anak daripada jika kita menyuruh anak-anak menangani perasaan mereka. Kita tidak mau membebani perasaan tidak enak kita pada anak-anak, tetapi kita juga tidak mau berpura-pura perasaan marah kita tidak ada. Dalam setiap kasus, kalau kita mau jujur, anak-anak selalu dapat merasakan perasaan orang tua meskipun kita mencoba menutupi perasaan marah.


Ibu Sam sedang sibuk membereskan rumah suatu hari Sabtu pagi setelah pekan yang melelahkan di kantornya. Memperhatikan ibunya yang melemparkan bantal sofa kencang-kencang , anaknya yang berusia 9 tahun, bertanya, "Ibu lagi marah ya?"
Ibu berhenti, menenangkan diri, dan menjawab,"Nggak kok, Sayang. Tentu saja tidak."


Sam pergi keluar untuk bermain, bingung dan tidak tenang, tetapi tidak yakin harus berbuat apa. Ibunya bisa saja menjawab, dengan lebih jujur, "Ya, Ibu kesal. Ibu kesal kamu tidak membereskan mainan. Ibu sudah repot membersihkannya, dan sekarang masih harus membawa semua mainanmu ke kamarmu. Tolong dong bantu ibu ambil semua mainanmu dari ruangan ini." Dengan demikian, Sam akan tahu bahwa persepsinya benar, bahwa Ibu memang marah. Ia juga akan tahu apa yang diharapkan ibu darinya.

Anak-anak juga belajar bahwa anak-anak bisa kesal pada temannya dan masih bisa menyelesaikan perbedaan mereka. Cicha terbangun tengah malah dan mendengar suara marah orang tuanya. Ia ketakutan dan bersembunyi di bawah selimut, dan akhirnya tertidur lagi. Pagi berikutnya, menyadari bahwa Cicha telah mendengar argumen mereka, Ayah menjelaskan padanya, "Ibu dan Ayah waktu itu membahas keuangan rumah tangga. Kami sedikit berselisih paham. Ayah minta maaf membangunkan kamu."

Penting bagi Cicha untuk mengetahui bahwa orang tuanya memang telah bertengkar, tetapi semuanya beres. Ayah dapat menjelaskan lebih lanjut, "Ibu dan Ayah tidak sepakat, tetapi kami menemukan kompromi. Kalau gagal juga, kami akan coba cara lain." Kata-kata yang menenangkan begini akan menolong Cicha memahami bahwa kadang-kadang orang bertengkar dan marah, tetapi bukan berarti mereka tidak saling mencintai. Ia juga akan belajar bahwa tidap semua keputusan dibuat dengan mudah, bahwa beberapa ketidaksetujuan dan lebih dari satu kali kesepakatan akan dibutuhkan.

Dengan jujur pada anak-anak tentang kesulitan yang tidak terelakkan dalam hidup bersama, kita dapat mengubah insiden yang tidak menyenangkan menjadi kesempatan mengajari anak nilai-nilai berharga tentang keahlian penting dalam hidup, yaitu kompromi dan negosiasi, pelajaran yang akan dapat mereka gunakan saat ini dan di masa mendatang.

Cerah Sesekali Berawan
Bagi sebagian besar dari kita, perasaan kesal datang dan pergi seperti cuaca mendung. Laksana cuaca, mudah berpikir bahwa frustrasi merupakan sesuatu yang terjadi pada kita, bahwa kita tidak punya kendali atas perasaan itu. Jika kita semakin paham mengenai reaksi kita, kita dapat mulai melihat bahwa kita sebenarnya punya andil terhadap perasaan itu.


Semakin kita dapat menangani rasa marah dengan kreatif dan membangun, semakin rendah kemungkinan perasaan kesal kita berlanjut ke perkelahian. Perkelahian akan berlanjut ke perkelahian lagi.

Ironisnya, kita lebih cenderung marah pada orang-orang tercinta dalam keluarga daripada terhadap kenalan, teman, atau orang asing. Ini sebabnya sangat penting untuk menangani perasaan ini begitu muncul, sebelum perasaan itu meraksasa. Kekesalan lebih mudah dihadapi daripada kemurkaan.

Penting artinya dan melegakan jika kita mengetahui kita tidak perlu menjadi teladan sempurna bagi anak-anak. Akan ada saat-saat di mana kita kehilangan kesabaran. Jika kita mampu mengenanli dan menilai kesalahan kita, dan meminta maaf atas perilaku kita, anak-anak akan belajar pelajaran penting- bahwa Ibu dan Ayah tengah terus-menerus belajar tentang cara menangani perasaan mereka juga.

Penting artinya menunjukkan pada anak-anak bahwa rasa marah bukanlah musuh untuk dilawan, melainkan energi yang harus dikendalikan secara kreatif. Bagaimana kita menangani energi tersebut dan bagaimana kita mengarahkannya penting bagi kita sendiri dan bagi kesehatan dan kesejahteraan keluarga. Lagi pula, perilaku kita sehari-harilah yang menciptakan pola dalam keluarga yang akan diteruskan anak-anak kita kepada keluarga mereka di masa depan - cucu-cucu kita.

Sumber : Fahima

Children Learn What They Live (Terjemahan Buku) Bagian 1

Jika Anak-Anak Dibesarkan Dengan Kritikan, Mereka Belajar Menyalahkan

Anak-anak ibarat spons. Mereka menyerap segala perbuatan kita, segala perkataan kita. Mereka belajar dari kita setiap saat, baik kita sadar maupun tidak bahwa kita sedang mengajari mereka. Jadi apabila kita terjebak dalam pola mengkritik - mengeluh tentang mereka, orang lain, atau dunia sekitar kita - kita menunjukkan bagaimana menyalahkan orang lain, atau bahkan lebih parah, menyalahkan diri mereka sendiri. Kita mengajari mereka untuk melihat apa yang salah dengan dunia, dan bukannya apa yang benar.

Kritikan dapat disampaikan dalam lusinan cara - kata-kata, nada suara, tingkah laku, atau bahkan satu pandangan saja. Kita semua tahu bagaimana memberikan satu pandangan menyalahkan -melotot, misalnya- atau membumbui kata-kata dengan sindiran tajam. Anak-anak kecil khususnya sensitif terhadap cara sesuatu disampaikan dan mudah mengambil hati. Orang tua bisa bilang "Waktunya berangkat" dan tidak bermaksud apa-apa lagi. Tetapi orang tua yang sedang tergesa-gesa dan tidak sabar, bisa juga mengatakan hal yang sama dengan menyiratkan "Kamu lambat sekali sih." Meskipun kedua cara ini tidak dijamin efektif, anak-anak akan mendengar kedua pesan ini secara berbeda. Pesan yang kedua akan membuatnya merasa tidak nyaman dengan dirinya.

Tentu saja, kita semua memiliki hal-hal tertentu yang paling dibenci dan semua orang toh mengomel sewaktu-waktu. Kita mungkin mengomel ketika anak-anak bisa mendengarkan kita. Tetapi ini tidak sama dengan hidup dengan pola mengkritik tanpa henti, dengan fokus terus-terusan mencari kesalahan. Kritikan yang sering -tidak perduli sasaran kesalahannya- memiliki efek bertumpuk, yang menciptakan suasana mengadili yang negatif bagi kehidupan keluarga. Sebagai orang tua, kita memiliki pilihan - kita dapat menciptakan atmosfer emosional yang penuh kritikan dan menyalahkan, atau yang suportif dan mendukung.

Dalam Panasnya Suasana
Wati (6 tahun) sedang berdiri di dekat meja dapur, mengatur bunga-bunga yang dipetiknya di dalam sebuah penyiram bunga dari plastik yang penuh air. Tiba-tiba, penyiram bunganya jatuh, menghamburkan air, daun, dan bunga-bunga di lantai. Lantai apur menjadi basah dan berantakan. Wati menangis keras-keras, Ibu datang secepat kilat.
"Aduh! Kenapa kamu ceroboh sekali sih?"kata Ibu, menghela napas kesal.

Kita semua pernah mengatakan hal semacam ini. Kita beraksi tanpa berpikir. Kata-kata terbang dari mulut kita begitu cepat dan bahkan kita pun kaget mendengarnya. Mungkin kita sedang capek. Mungkin kita sedang bingung tentang masalah lain. Tetapi, belum terlambat mengubah nada suara kita, dan mencegah kecelakaan kecil ini menjadi masalah besar sehingga benar-benar meluluhlantakkan perasaan harga diri anak. Jika ibu Wati berhenti sejenak, menenangkan dirinya, dan minta maaf karena membentak, proses beres-beres akan berjalan lebih baik. Sebaliknya, jika ibu Wati melanjutkan omelannya, Wati mungkin mulai melihat dirinya sebagai orang yang tidak berguna dan ceroboh.

Saya tahu bahwa menekan perasaan sebal kita, meskipun kita tahu merupakan hal terbaik bagi anak-anak kita, tidak selalu mudah. Sebagian besar dari kita harus bekerja keras memahami dan menguasai reaksi emosional kita. Ada baiknya kita selalu siap dengan respon alternatif, seperti , "Bagaimana hal ini terjadi?" Perkataan ini menekankan pada kejadiannya ketimbang pada anak. Ini juga tidak hanya membebaskan anak dari perasaan tidak berguna dan kegagalan, tetapi juga memberi ruangan buat pelajaran yang membangun. Dengan mendorong anak untuk membicarakan urutan peristiwa, bersama-sama kalian bisa melihat bagaimana satu hal menyebabkan hal lainnya dan mungkin menemukan cara bagaimana kalian dapat mengantisipasinya di masa depan.

Beberapa kecelakaan dapat dicegah dengan merencanakan sebelumnya dan dengan menetapkan batas-batas di awal sebuah proyek. Dalam sebagian besar kesempatan, anak-anak kita ingin menyenangkan kita, dan kita dapat mempermudahnya bagi mereka dengan mengatakan secara jelas apa yang kita inginkan di awal. Saran-saran kita hendaknya spesifik dan sesuai umur anak, dan harus dikatakan dengan cara yang menyediakan informasi kongkrit yang dapat digunakan anak untuk memberikan rambu-rambu pada perbuatannya.

Pada suatu hari hujan, Budi (4 tahun) memberi tahu ibu bahwa ia dan temannya ingin membuat binatang dengan lilin mainannya. Ibunya sedang sibuk mengurus surat-surat tagihan di dapur, dan tergoda untuk langsung bilang iya saja supaya anak-anak itu cepat pergi. Tetapi, ibu bangkit dan mengeluarkan sebuah tirai plastik lama yang disiapkannya untuk tujuan ini. Sambil membentangkan tirai itu di lantai, ia menjelaskan, "Duduk di tengah-tengah sini ya. Banyak tempat untuk kebun binatang kalian."

Sementara anak-anak itu meletakkan lilin mainan di atas tirai plastik, Budi bertanya,"Boleh pakai pisau dari dapur?"
"Nggak boleh ya. Pisau bukan untuk mainan. Kalau pemotong kue kering saja gimana?" jawab Ibu.
"Ya deh. Sendok juga ya?" tanya Budi.
"Boleh," kata Ibu, mengambilkan beberapa peralatan masak. "Ingat ya, kalian juga harus bantu bersih-bersih habis main."

Beberapa menit yang diinvestasikan pada awal proyek tadi merupakan gangguan bagi ibu Budi, tetapi telah menyelamatkannya dari mengorek-ngorek lilin dari atas karpet sembari menahan diri untuk tidak mengomeli anak-anak. Keterlibatan awalnya juga memberikan Budi kesempatan untuk bernegosiasi meminta peralatan dapur yang ia inginkan. Meskipun pendekatan ini makan waktu, muncul pilihan-pilihan dan anak-anak berlatih membuat keputusan yang baik. Memiliki suara aktif dalam keputusan sehari-hari juga membantu mereka membangun imej diri sebagai orang yang kompeten.

Kenyataannya, kita tidak selalu punya waktu dan prakiraan guna menangani hal-hal secara hati-hati seperti keinginan kita. Suatu hari seorang teman mendesak anak perempuannya Kiki agar cepat-cepat keluar rumah untuk pergi bersama, termasuk mengantarkan Kiki ke salon. Di tengah jalan, ibu berkata, "Ayo cepat dong, Sayang. Kamu kan harus potong rambut. Kita sudah hampir telat nih." Tiba-tiba, entah kenapa, Kiki menangis melolong-lolong tidak mau dipotong rambutnya. Karena frustasi, ibunya mengatakan Kiki "susah diatur." Kiki kesal sekali sehingga tidak mau bicara. Bagi seorang dewasa, ibu tidak tampak mengkritik, tetapi pesan yang didengar Kiki adalah,"Kamu tidak baik karena susah diatur."

Ketika Kiki akhirnya tenang, ia dapat menjelaskan bahwa ia ingin memanjangkan poninya dan tidak ingin poninya dipotong. Ibu, setelah menyadari sebabnya, memandang Kiki dengan rasa tidak percaya. "Ya Sayang," katanya, "Nanti kita bilang ke salon ya biar ponimu nggak dipotong." Seandainya ibu berpikir untuk membicarakan tentang acara potong rambut pada waktu sarapan, ia dan Kiki tidak harus ribut-ribut.

Tentu saja, tidak perduli betapa luwes dan sabarnya kita, atau betapa kita mengantisipasi kejadian, akan ada saat-saat kita berselisih dengan anak-anak. Masalahnya menjadi bagaimana kita menyelesaikan konflik dengan kerusakan sesedikit mungkin. Tidak ada yang menang dalam kebuntuan. Ibu Kiki menghargai hak anaknya untuk memutuskan model rambut yang diinginkannya.

Pembagian kendali tentang hal-hal kecil membangun rasa percaya bagi perundingan di masa depan mengenai keputusan yang lebih besar dengan tumbuhnya anak kita menjadi remaja. Jika anak-anak tumbuh dengan mengetahui bahwa kita akan mendengar mereka dan mempertimbangkan gagasan mereka dengan penghargaan, mereka akan lebih bersedia bicara pada kita dan bekerja sama untuk menyelesaikan masalah.

Cara Kita Berbicara
Sering kali ketika kita mengomeli anak-anak, tujuan kita adalah mendorong mereka menjadi lebih baik, melakukan hal dengan lebih baik. Barangkali beginilah cara orang tua kita berkomunikasi dengan kita ketika kita kecil. Atau mungkin kita kembali mengkritik mereka ketika kita capek atau stres.

Tetapi anak-anak tidak menghadapi kritik sebagai hal yang membangun. Bagi anak-anak, kritikan lebih terasa sebagai serangan pribadi dan kritikan cenderung membuatnya mempertahankan diri daripada bekerja sama. Anak-anak yang lebih kecil biasanya kesulitan memahami bahwa perbuatan merekalah yang tidak baik, dan bukannya mereka sendiri.

Tetapi, kita masih bisa mengatakan pada anak-anak kita tidak menyukai perbuatan mereka. Jika kita mengambil waktu sejenak untuk mempertimbangkan pengaruh kata-kata kita, kita dapat mengatakan apa yang perlu tanpa meremehkan jati diri anak. Apa pun yang terjadi, kita dapat memberitahukan pada anak bahwa ia baik, meskipun perbuatan sebelumnya tidak.

Segera setelah ayah Wawan (8 tahun) mendengar bunyi sesuatu pecah, ia langsung tahu apa yang terjadi. Ayah berjalan dengan tenang dari dapur ke jendela ruang tamu, di mana pecahan beling bertebaran di lantai. Anak laki-lakinya berdiri di luar dengan wajah terkejut dan takut. Pemukul kasti tergeletak di lapangan dekat rumah, bola menggelinding di lantai ruang tamu.
"Sekarang kamu tahu mengapa peraturannya 'Dilarang main bola dekat rumah?' Ayah bertanya. Wawan menunduk. "Wawan tahu, Ayah. Tadi sudah hati-hati kok." "Nggak, Wan. peraturannya bukan tentang hati-hati." Ayah tegas. "Peraturannya tentang jarak."
"Maaf," kata Wawan, berharap pembicaraan itu selesai.

Ayah memandangnya serius. "Nah, mari kita hitung berapa ongkos memperbaiki jendela, dan kita bisa hitung berapa lama kamu bisa membayarnya dari uang sakumu."
Kata-kata itu meresap lambat-lambat sampai Wawan menyadari konsekuensi perbuatannya. Ayah melihat bahu anaknya merosot dengan berat tanggung jawabnya.

"Kamu tahu, Kakek membuat Ayah membayar untuk jendela yang Ayah pecahkan ketika Ayah seumurmu," ia mengaku pada anaknnya, yang sekarang mendengarkan dengan perhatian.
"Masa?"
"Dan makan waktu lama juga." Ayah berkata. "Ayah bilangin nih. Sejak itu Ayah tidak pernah memecahkan kaca lagi. Sekarang pergi ambil sapu dan serokan. Kita bersihkan pecahan kaca ini."

Terlalu banyak tekanan pada hukuman dan omelan menciptakan jarak, bukan kebersamaan. Sejujurnya sih, kita semua berbuat salah, dan kecelakaan bisa terjadi. Menanggapi dengan pesan-pesan yang menolong pada saat-saat begini mempermudah anak-anak untuk belajar melalui pengalaman, untuk memikirkan hubungan antara apa yang mereka lakukan dan apa yang terjadi, serta untuk menentukan apa yang harus mereka lakukan guna memulihkan situasi.

Ngomel, ngomel, ngomel
Kita mungkin tidak menyadarinya, tetapi omelan dan keluhan yang kronis adalah bentuk halus dari kritikan. Pesan yang mendasari omelan adalah, "Aku tidak percaya kamu akan ingat melakukan sesuatu atau berlaku dengan baik." Mengharapkan yang terburuk dari anak-anak kita tidak menolong mereka dan juga tidak menghasilkan apa-apa bagi kita. Anak-anak kecil sekali pun dengan cepat belajar mengacuhkan ucapan yang diulang-ulang. Remaja terkenal dengan kemampuan mereka "menjadi tuli" baik dengan headphone atau pun tidak.

Strategi yang lebih baik daripada mengomel adalah mengatur rutinitas yang dapat diperkirakan dengan harapan yang wajar. Contoh, saya sering menyarankan pada orang tua bahwa satu cara yang sederhana tetapi efektif untuk menghindari kebiasaan mengatakan "jangan lupa" adalah berhenti menekankan lupa dan mulai menekankan mengingat. Katakan pada anak-anak apa yang Anda ingin ia ingat. "Ingat, taruh kaus kaki di dalam keranjang cucian" dan "Ingat, boneka ini tetap di dalam rumah."

Ini membiasakan suasana mendorong yang penting bagi segala usia dan dapat membuat perbedaan besar di dunia. Ini terutama menolong bagi anak-anak lebih kecil yang baru saja belajar tentang fungsi dalam kehidupan keluarga. Di atas segalanya, berikan penghargaan pada prestasi mereka. "Wah kamu ingat membereskan mainan sendiri! Kamu anak baik yang penolong ya." Dengan pernyataan positif semacam ini, Anda memberitahukan pada anak Anda apa yang Anda harapkan dan juga memberikan semangat baginya.

Seperti mengomel, mengeluh juga cara tidak efektif untuk mengupayakan perubahan dan bukan contoh bermanfaat untuk diajarkan pada anak-anak. Mengeluh memusatkan pada kesulitan, kekurangan, dan kekecewaan, bukan solusi. Kita tidak ingin anak-anak kita belajar melihat dunia dengan perspektif pasif dan negatif ini. Kita tidak ingin mereka berpikir cara menanggapi masalah adalah mengeluh. Hindari menjadikan keluhan sebagai ganti bertindak. Sebaliknya, cobalah mengkhayalkan sebanyak mungkin solusi kreatif sebanyak mungkin, dan ajaklah anak-anak memikirkan solusi pula.

Pikirkan tentang betapa banyaknya Anda mengeluh dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin mengejutkan ketika menyadari sering sekali kita mengeluh, tentang situasi kerja kita, tentang orang-orang lain dalam hidup kita, atau tentang cuaca. Kendati kita mungkin perlu mengeluh sesekali, ingatlah bahwa tidak hanya anak-anak, orang tua pun tidak boleh rewel.

Mengeluh tentang pasangan kita terutama bersifat merusak. Keluhan ini dapat menyebabkan anak-anak merasa harus berpihak pada salah satu orang tua, menempatkan mereka di tengah-tengah pertikaian perkawinan. Ini posisi yang mustahil bagi anak-anak, karena mereka tercabik antara kesetiaan pada kedua orang tua. Sama halnya, mengeluh tentang kakek nenek anak-anak juga menempatkan anak-anak kita pada tempat yang sulit.

Keluhan kita tentang mertua perlu dibahas secara pribadi dan dipisahkan dari hubungan ajaib anak-anak dengan kakek neneknya. Anak-anak kita nanti akan segera menemukan kekurangan pada keluarga. Mari hindari membebani mereka dengan kemarahan kita yang tidak pada tempatnya. Tambahan, anak-anak perlu melihat semua orang dewasa di dalam keluarga saling memperlakukan dengan respek baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Ingatlah bahwa anak-anak belajar tentang hubungan dan bagaimana orang-orang yang saling mencintai saling akur dengan cara mengamati interaksi kita.

Menikmati Cahaya Anak
Seperti anak-anak kita terus belajar dari kita, kita dapat terus belajar dari mereka. Setelah acara jalan-jalan keluarga, beberapa teman saya memusatkan perhatian untuk menyuruh anak-anak laki-laki mereka yang berusia tujuh dan delapan tahun keluar mobil dan tidur tanpa ribut-ribut. Tidak ada satu pun anak yang mau tidur, seperti biasa. Sambil berjalan menuju rumah, anak termuda bertanya, "Boleh nggak kita menonton bintang sebentar?"

Orang tuanya berhenti. Mereka punya pilihan. Mereka bisa berkata, "Oh kamu kok suka sekali begadang. Jangan susah diatur dong. Sudah malam. Waktunya tidur."Tetapi mereka tidak bilang begitu. Malam itu, mereka menggunakan beberapa menit untuk menikmati langit malam dan pantulan cahayanya pada wajah anak-anak mereka.

"Menonton bintang" secara kualitatif berbeda dengan "melihat bintang". Orang dewasa menengadah, melihat, dan segera beralih pada "hal-hal yang harus dikerjakan."Anak-anak menonton bintang-bintang dengan takjub dan berharap. Mengizinkan anak-anak untuk mengajari kita cara baru melihat dunia dapat menciptakan pengalaman keluarga yang dinamis di mana kita semua dapat belajar dan tumbuh bersama.

Sumber : fahima

Monday, February 05, 2007

7 dari 10 Wanita Hamil Terkena Anemia

Di Indonesia prevalensi anemia di kalangan pekerja memang masih tinggi. Studi mengenai anemia pada pekerja wanita yang dilakukan di Jakarta, Tangerang, Jambi, dan Kudus - Jawa Tengah membuktikan hal itu. Dilaporkan, anemia menurunkan produktivitas 5 - 10% dan kapasitas kerjanya 6,5 jam per minggu. Anemia yang menyebabkan turunnya daya tahan juga membuat penderita rentan terhadap penyakit, sehingga frekuensi tidak masuk kerja meningkat. Maka benarlah bila disimpulkan, anemia defisiensi zat besi sangat mempengaruhi produktivitas kerja seseorang. Namun, menurut penelitian lain, produktivitas dapat ditingkatkan sampai 10 - 20% setelah pekerja mendapat suplemen zat besi.

Pembentuk sel darah merah
Pada penderita anemia, lebih sering disebut kurang darah, kadar sel darah merah (hemoglobin atau Hb) di bawah nilai normal. Penyebabnya bisa karena kurangnya zat gizi untuk pembentukan darah, misalnya zat besi, asam folat, dan vitamin B12. Tetapi yang sering terjadi adalah anemia karena kekurangan zat besi.

Proses kekurangan zat besi sampai menjadi anemia melalui beberapa tahap. Awalnya, terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi. Bila belum juga dipenuhi dengan masukan zat besi, lama-kelamaan timbul gejala anemia disertai penurunan Hb.

Gejala awal anemia zat besi berupa badan lemah, lelah, kurang energi, kurang nafsu makan, daya konsentrasi menurun, sakit kepala, mudah terinfeksi penyakit, stamina tubuh menurun, dan pandangan berkunang-kunang - terutama bila bangkit dari duduk. Selain itu, wajah, selaput lendir kelopak mata, bibir, dan kuku penderita tampak pucat. Kalau anemia sangat berat, dapat berakibat penderita sesak napas, bahkan lemah jantung.

Zat besi yang terdapat dalam semua sel tubuh ini berperan penting dalam berbagai reaksi biokimia, di antaranya memproduksi sel darah merah. Sel itu sangat diperlukan untuk mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Sedangkan oksigen penting dalam proses pembentukan energi agar produktivitas kerja meningkat dan tubuh tidak cepat lelah.
Zat besi juga unsur penting dalam mempertahankan daya tahan tubuh, agar kita tidak mudah terserang penyakit. Menurut penelitian, orang dengan kadar Hb kurang dari 10 g/dl memiliki kadar sel darah putih (untuk melawan bakteri) yang rendah pula.


Jumlah zat besi di dalam tubuh bervariasi menurut umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis tubuh. Pada orang dewasa sehat, jumlah zat besi diperkirakan lebih dari 4.000 mg, dengan sekitar 2.500 mg ada dalam hemoglobin. Di dalam tubuh sebagian zat besi (sekitar 1.000 mg) disimpan di hati berbentuk ferritin. Saat konsumsi zat besi dari makanan tidak cukup, zat besi dari ferritin dikerahkan untuk memproduksi Hb.

Jumlah zat besi yang harus diserap tubuh setiap hari hanya 1 mg atau setara dengan 10 - 20 mg zat besi yang terkandung dalam makanan. Zat besi pada pangan hewani lebih tinggi penyerapannya yaitu 20 - 30%, sedangkan dari sumber nabati hanya 1 - 6%.

Wanita lebih rentan
Sebenarnya, tubuh punya mekanisme menjaga keseimbangan zat besi dan mencegah berkembangnya kekurangan zat besi. Tubuh mampu mengatur penyerapan zat besi sesuai kebutuhan tubuh dengan meningkatkan penyerapan pada kondisi kekurangan dan menurunkan penyerapan saat kelebihan zat besi.


Begitupun, anemia tetap bisa menyerang, bahkan siapa saja. Di antaranya mereka yang karena aktif, amat sibuk, dan punya keterbatasan waktu, tidak bisa mengikuti pola makan yang memenuhi kebutuhan akan zat besi.

Kemungkinan lain adalah meningkatnya kebutuhan karena kondisi fisiologis, misalnya hamil, kehilangan darah karena kecelakaan, pascabedah atau menstruasi, adanya penyakit kronis atau infeksi, misalnya infeksi cacing tambang, malaria, tuberkulose atau TB (dulu dikenal sebagai TBC).

Mereka yang berdiet pun terbuka kemungkinan menderita anemia karena diet yang berpantang telur, daging, hati, atau ikan. Padahal jenis pangan itu sumber zat besi yang mudah diserap tubuh. Tak heran bila para vegetarian cenderung mudah menderita anemia. Apalagi disertai kebiasaan tidak sarapan atau frekuensi makan tidak teratur tanpa kualitas makanan seimbang.

Demikian pula pengidap gangguan penyerapan zat besi dalam usus. Ini bisa terjadi karena gangguan pencernaan atau dikonsumsinya substansi penghambat seperti kopi, teh, atau serat makanan tertentu tanpa asupan zat besi yang cukup.

Wanita, terutama, perlu memberi perhatian khusus pada anemia. Dimulai pada saat remaja mengalami haid di masa pubertas. Di fase ini sangat diperlukan zat gizi cukup seperti zat besi, vitamin A, dan kalsium. Sayangnya, akibat menstruasi ia harus kehilangan zat besi hingga dua kali jumlah yang dikeluarkan pria.

Pada wanita dewasa dengan berat badan 55 kg, zat besi yang keluar lewat saluran pencernaan dan kulit atau kehilangan basal berjumlah 0,5 - 1,0 mg per hari, atau umumnya sekitar 0,8 mg per hari. Sedangkan jumlah zat besi yang hilang karena haid, pada 95% populasi adalah 1,6 mg per hari. Sehingga jumlah zat besi yang hilang akibat haid ditambah kehilangan basal menjadi sekitar 2,4 mg per hari pada 95% populasi.

Tak heran bila wanita cenderung menderita kekurangan zat besi karena hilangnya zat itu di kala haid tiap bulan tanpa diimbangi asupan makanan yang cukup mengandung zat besi. Kehilangan zat besi lewat haid pada wanita biasanya konstan, tetapi bervariasi jumlahnya di antara kaum wanita. Dapat dimengerti bila beberapa wanita perlu zat besi lebih banyak daripada wanita lain.
Penyebab lain adalah kecenderungan wanita berdiet karena ingin mempertahankan bentuk tubuh ideal, tanpa mempertimbangkan jumlah zat gizi penting yang masuk, terutama zat besi.
Selain menstruasi, kondisi rawan lain adalah saat hamil dan menyusui. Anemia adalah masalah kesehatan dengan prevalensi tertinggi pada wanita hamil. Prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia adalah 70%, atau 7 dari 10 wanita hamil menderita anemia.


Pada trimester pertama kehamilan, zat besi yang dibutuhkan sedikit karena tidak terjadi menstruasi dan pertumbuhan janin masih lambat. Menginjak trimester kedua hingga ketiga, volume darah dalam tubuh wanita akan meningkat sampai 35%, ini ekuivalen dengan 450 mg zat besi untuk memproduksi sel-sel darah merah. Sel darah merah harus mengangkut oksigen lebih banyak untuk janin. Sedangkan saat melahirkan, perlu tambahan besi 300 - 350 mg akibat kehilangan darah. Sampai saat melahirkan, wanita hamil butuh zat besi sekitar 40 mg per hari atau dua kali lipat kebutuhan kondisi tidak hamil.

Pada banyak wanita hamil, anemia gizi besi disebabkan oleh konsumsi makanan yang tidak memenuhi syarat gizi dan kebutuhan yang meningkat. Selain itu, kehamilan berulang dalam waktu singkat. Cadangan zat besi ibu yang belum pulih akhirnya terkuras untuk keperluan janin yang dikandung berikutnya.

Jadi, kebutuhan zat besi untuk tiap wanita berbeda-beda sesuai siklus hidupnya. Wanita dewasa tidak hamil kebutuhannya sekitar 26 mg per hari, sedangkan wanita hamil perlu tambahan zat besi sekitar 20 mg per hari.

Saat menyusui, meski biasanya wanita tidak mengalami haid, ibu tetap kehilangan zat besi dan kalsium melalui ASI. Selain kehilangan basal normal sekitar 0,8 mg, kehilangan zat besi melalui ASI mencapai sekitar 0,3 mg per hari. Maka, ibu menyusui butuh tambahan zat besi 2 mg per hari serta kalsium 400 mg per hari.

Anemia pada ibu hamil bukan tanpa risiko. Menurut penelitian, tingginya angka kematian ibu berkaitan erat dengan anemia. Anemia juga menyebabkan rendahnya kemampuan jasmani karena sel-sel tubuh tidak cukup mendapat pasokan oksigen. Selain itu, hewan percobaan yang bunting dan kekurangan zat besi melahirkan anak-anak dengan daya tahan rendah terhadap infeksi. Penyebabnya, sel fagosit yang bertugas menangkal bakteri infeksi tak berfungsi maksimal.

Perhatikan pola makan
Penanggulangan anemia - terutama untuk wanita hamil, wanita pekerja, dan wanita yang telah menikah prahamil - sudah dilakukan secara nasional dengan pemberian suplementasi pil zat besi. Malah ibu hamil sangat disarankan minum pil ini selama tiga bulan, yang harus diminum setiap hari. Penelitian menunjukkan, wanita hamil yang tidak minum pil zat besi mengalami penurunan cadangan besi cukup tajam sejak minggu ke-12 usia kehamilan.
Sayangnya, cara ini memberikan efek seperti mual, diare, dan lainnya. Maka, alternatifnya adalah mengkonsumsi makanan yang diperkaya dengan zat besi, misalnya berbentuk susu atau roti.


Suplemen tablet besi memang diperlukan untuk kondisi tertentu, wanita hamil dan anemia berat misalnya. Penderita anemia ringan sebaiknya tidak menggunakan suplemen besi, lebih tepat bila mereka mengupayakan perbaikan menu makanan. Misalnya, dengan meningkatkan konsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi seperti telur, susu, hati, ikan, daging, kacang-kacangan (tempe, tahu, oncom, kedelai, kacang hijau), sayuran berwarna hijau tua (kangkung, bayam, daun katuk), dan buah-buahan (jeruk, jambu biji, pisang). Perhatikan pula gizi makanan dalam sarapan dan frekuensi makan yang teratur, terutama bagi yang berdiet.
Biasakan pula menambahkan substansi yang memudahkan penyerapan zat besi seperti vitamin C, air jeruk, daging, ayam, dan ikan. Sebaliknya, substansi penghambat penyerapan zat besi seperti teh dan kopi patut dihindari.


Berkonsultasilah dengan dokter bila anemia berkaitan dengan kesehatan, misalnya infeksi, penyakit kronis, atau gangguan pencernaan. (*/Sht)

Sumber : Web Balita Anda

Sunday, December 10, 2006

BERTENGKAR DI DEPAN ANAK? BOLEH ASAL...

Mungkin pernyataan ini membuat Anda kaget. Kok, boleh bertengkar di depan anak? Ya, boleh, kok. Tapi, tentu saja, dengan sejumlah catatan. Boleh saja orang tua berselisih paham atau berbeda pendapat di depan anak. Justru anak jadi paham dan dapat memetik pelajaran, bahwa berbeda pendapat merupakan hal wajar dan bisa dicarikan jalan keluarnya. Coba saja pikir, bagaimana mereka akan pernah belajar bernegosiasi dan berdebat yang benar jika tidak ada seorang pun yang pernah mengajarkannya?Ingat, ayah dan ibu adalah contoh bagi anak-anak. Termasuk model untuk bagaimana bertingkah laku dalam kehidupan. Jadi, bersikaplah sebagai contoh model yang baik, termasuk saat Anda berdua tengah berselisih. Caranya? Simak tips berikut.

1. Berlaku sopan
Jangan pernah berdebat atau berselisih yang diakhiri dengan menyakiti salah seorang (terutama di depan anak-anak). Jangan pernah mengecilkan/meremehkan pasangan.

2. Tenang
Berteriak, saling memaki, bicara dengan nada tinggi, jelas berbeda dengan berdiskusi. Itu berarti menekan atau memaksa orang lain untuk mendengarkan Anda. Suara yang tenang akan selalu lebih efektif dalam berdebat, karena akan membuat lawan bicara mau mendengarkan.

3. Tetap berteman
Perlihatkan pada anak-anak bagaimana cara bernegosiasi yang efektif dan "tetap menjadi teman" jika semua masalah telah dibicarakan dan selesai. Pada akhir perselisihan, kedua belah pihak harus berlapang dada dan tetap saling menghargai, menerima, dan mencintai.

4. Bukan musuh
Ingat Anda bukan merupakan musuh dari orang di dalam konflik yang terjadi. Anda hanya mempunyai ide yang berbeda untuk mencapai sesuatu kesepakatan. Lihatlah pada tujuannya secara umum dan bagaimana cara terbaik untuk menyatukan suatu argumen kendati berbeda jalan. Nah, bukankah hal ini merupakan suatu keahlian, keterampilan yang baik yang patut diajarkan kepada anak-anak?

5. Tidak menyangkut mereka
Jangan pernah berselisih di depan anak-anak dengan topik perselisihan yang menyangkut perilaku anak-anak itu sendiri. Saat untuk memberi pelajaran yang baik dapat menjadi hancur berantakan jika anak mulai menjadi takut karena mendengar komentar pribadi Anda dan pasangan mengenai diri mereka.

6. Menerima kekalahan
Ajarari anak bagaimana cara menerima kekalahan dengan anggun, lapang dada. Jadilah seorang yang sportif dan bukan pendendam. Merasa kecewa adalah hal yang wajar dan ada cara yang baik untuk melihatkan hal ini. Kemudian belajar atau bangkitlah untuk menghilangkan perasaan tersudut, kalah, dan lainnya. Perlihatkan pada si kecil, semua itu merupakan suatu pelajaran terbaik dalam kehidupan!

7. Jadilah diri sendiri
Tapi jangan berlebihan. Memang, memiliki pendapat merupakan sesuatu yang oke sehingga anak tahu, ada sesuatu hal dalam kehidupan yang penting dan harus kita pertahankan. Tapi usahakan untuk tidak berlarut-larut. Biarkan berlalu jika sudah berlalu dan tunjukkan pada anak, bagaimana proses dari semua itu.

8. Berhati besar
Ketika konflik sudah bisa diatasi dan "persetujuan" disepakati, terima semua itu dengan besar hati. Dengan kata lain, jangan mengungkit-ungkit kembali masalah selama seminggu terus-menerus, misalnya. Perlihatkan pada anak, berselisih paham atau berbeda pendapat adalah sesuatu yang wajar dan bisa dicarikan jalan keluarnya untuk kemudian hidup rukun lagi. Nah, dari hal-hal tersebut d atas, anak akan belajar, jika dua orang saling menghargai, berargumen secara sehat, segala perselisihan atau perdebatan bisa dislesaikan dengan baik lewat negosiasi. Anak pun belajar untuk melihat dan menghargai pandangan atau ide orang lain, menghormati bahwa orang lain mungkin memiliki pendapat yang berbeda tapi kemudian bisa mendapat kata sepakat. Sudah siap untuk bertengkar sehat di depan buah hati tercinta?

Sumber : Nova

HUBUNGAN URUTAN LAHIR & TABIAT

Anak sulung, kedua, atau bungsu hanyalah sebuah julukan dalam suatu keluarga. Yang jelas, dalam ilmu psikologi disebutkan, urutan kelahiran mempunyai dampak dari berbagai aspek pada tabiat seorang anak. Tentu saja ciri-ciri tersebut tidak selalu pasti begitu karena dalam beberapa hal ada banyak pengecualian yang dapat membuat sifat-sifat tersebut saling bertukaran.

Anak Sulung
Terlahir sebagai pemimpin secara alami. Mereka cenderung menjadi perfeksionis, dapat dipercaya, dan penuh perhatian. Mereka tidak terlalu menampakkan suatu reaksi ketika terkejut dan bisa mendadak menjadi agresif. Bagaimanapun juga, mereka adalah anak yang menyenangkan. Anak pertama biasanya mempunyai keinginan yang amat sangat kuat untuk dimengerti.

Anak Tunggal
Sebetulnya hampir sama dengan si sulung, walaupun karakter anak tunggal biasanya serba 3 kali lipat dari anak pertama. Mereka lebih perfeksionis, lebih bertanggung jawab, dan cenderung lebih dapat beradaptasi dengan orang yang lebih tua.

Anak Tengah
Konon merupakan anak yang paling susah dibentuk. Mereka sangat berlawanan dengan saudara kandung lainnya. Mereka biasanya senang dianggap sama dengan kakak-kakaknya dibandingkan dengan adik-adiknya. Mereka cenderung menutup diri dan tidak mudah mengungkapkan emosinya. Karena mereka merasa kuat walau hal itu tidak dipedulikan keluarganya, hubungan mereka dengan anak sebaya lebih kuat, bisa membaca pikiran orang, dan menyukai ketenangan.

Anak Bungsu
Cenderung menjadi anak yang ramah dan sangat menyenangkan. Mereka tidak terlalu peduli dengan masalah finansial karena bagi mereka dengan mendapat kesenangan, sudah cukup. Anak bungsu biasanya sangat menawan tapi bisa menjadi manipulatif dan manja.

Sumber : Nova

OBESITAS & 3 KESALAHAN ORANG TUA

Namanya saja orang tua, tentu maunya memberi hanya yang terbaik bagi buah hati. Celakanya, meski sudah paham betul mengenai pentingnya makanan bergizi dan olah raga, tetap saja banyak orang tua yang tidak tahu, apa yang harus mereka lakukan. Alhasil, tubuh si kecil jadi "kelewat" sehat dan bahkan mengalami obesitas. Apa saja kesalahan orangtua, dan bagaimana memperbaikinya?

KESALAHAN
1: "DIA ENGGAK GEMUK, KOK!"
Ini merupakan pernyataan yang cenderung berkesan menyangkal. Banyak orang tua tidak mau jujur terhadap diri sendiri mengenai berat badan anaknya. Mereka menutup mata terhadap masalah yang dihadapi anak. Padahal, obesitas dapat menurunkan rasa percaya diri anak.Yang harus dilakukan: Cari tahu berat badan yang ideal untuk anak Anda. Bandingkan antara bobot si kecil saat ini dengan yang seharusnya. Lakukan konsultasi dengan dokter atau ahli gizi. *

2."DULU SAYA JUGA BEGITU"
Ingat, lo, penelitian membuktikan, anak-anak yang mengalami obesitas, saat dewasa juga menjadi obesitas. Pada kenyataannya, tidak ada anak yang mau menjadi gemuk.Yang harus dilakukan:Tak perlu menyuruh anak melakukan diet ketat, tetapi Anda perlu memberi dan menyuruh anak mengonsumsi makanan bergizi serta melakukan olah raga yang dapat membantu mereka tumbuh dengan sehat. Menurunkan berat badan tidak dapat dilakukan dalam sekejap. Mengubah kebiasaan dan gaya hidup seseorang ataupun suatu keluarga tidaklah mudah, terutama bila perasaan anak yang obesitas dipertaruhkan. Orang tua harus menyusun rencara dan harus tekun serta kerja keras.Berita baiknya adalah bahwa masa yang paling mudah untuk memonitor anak-anak tersebut adalah antara usia 4 - 12 tahun yaitu masa di mana mereka tumbuh dan kegiatan serta pola makan mereka masih tergantung dari orang tuanya.

3. "SUDAH DICOBA BERBAGAI CARA" Banyak orangtua yang mudah menyerah. Mereka mencoba sesuatu tetapi biasanya bukan sesuatu yang tepat dan benar. Lalu mereka menyerah.Yang harus dilakukan:Rahasianya adalah Anda harus melakukannya dengan cara yang benar dan harus komit untuk berhasil. Anda harus sadar betul, Andalah satu-satunya yang berperan demi berhasilnya rencana dan Anda harus mengerahkan seluruh anggota keluarga demi keberhasilan si kecil. Yang pasti, Anda dapat memiliki anak yang sehat bila memutuskan untuk menempatkan usaha tersebut sebagai prioritas utama.

Sumber : Nova

8 KIAT MENANAMKAN DISIPLIN

1. Belajar mengatakan "tidak" secara tegas tapi dengan sabar, penuh kasih sayang, berwibawa, dan tanpa nada marah. Kemampuan ini akan menolong Anda dalam mendidik anak sehingga mereka mengetahui, ada batasan dalam berbuat sesuatu.

2. Selalu bersikap konsisten. Jika Anda telah mengatakan akan ada tindakan akibat dari perilakunya yang salah, terapkan "hukuman" tersebut sehingga anak tidak akan pernah mencoba untuk memainkan Anda. Sikap yang tidak konsisten akan menghancurkan aturan dan disiplin.

3. Fokus dan targetkan satu atau dua perilaku yang harus ditaati dengan baik pada waktu yang bersamaan. Misalnya, makan harus dihabiskan, makanan jangan dibuat mainan. Umumnya akan lebih efektif untuk mengajarkan anak pada satu atau dua bidang yang terfokus daripada mencoba untuk mengajarkannya sedikit-sedikit tapi dengan berbagai macam bidang yang berbeda-beda.

4. Berlakulah seperti "bos" dan jangan malu untuk menjadi bos dalam membina hubungan dengan anak. Jika tidak, anak cenderung bertindak semaunya bagaikan anak ayam kehilangan induk dan akhirnya akan berperilaku negatif. Anda dapat mengatakan pada anak bahwa Anda adalah "bos" mereka. Tentu saja sebagai bos Anda tidak bertindak otoriter dan semena-mena.

5. Ajarkan anak berdisplin dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan cinta kasih.

6. Berikan anak pilihan-pilihan kecil semisal baju apa yang ia sukai, mau wortel atau kacang polong. Setelah menentukan pilihan, anak harus konsisten dengan pilihannya tersebut.

7. Ingat disiplin yang konsisten merupakan hal yang aman dan baik. Kepatuhan anak merupakan salah satu jaminan agar ia selamat dari bahaya. Waktu yang terbaik untuk menyiapkan diri dalam keadaan bahaya adalah sebelum Anda berada dalam keadaan bahaya.

8. Untuk langkah awal, ajarkan anak dengan cara memfokuskan mereka agar menurut pada aturan atau disiplin yang Anda buat. Anak sudah cukup mengerti untuk mempelajari konsep ini.

Sumber : Nova

Mengajar Anak membuat keputusan

Memilih adalah salah satu hal yang harus kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Itu sebabnya, sejak dini anak sudah harus dididik agar bisa dan mampu mengambil keputusan. Tapi, tentu saja, tetap harus ada batasnya.

Sebetulnya, anak pun sudah belajar secara alami tentang bagaimana harus menentukan pilihan. Lihat saja, mereka sudah bisa memilih mainan, pakaian, atau sarapan apa yang diinginkannya. "Aku enggak mau makan roti, maunya nasi goreng," begitu, kan, kira-kira ucapan si kecil. Dengan kata lain, ia sudah mampu menentukan pilihannya sendiri.

Belajar mengambil keputusan pada usia dini amat baik dan sangat disarankan. Merupakan suatu pemikiran yang baik untuk mengatasi akibat dari setiap pilihan. Jika anak tumbuh lebih besar, keputusan dan pilihan menyediakan kesempatan untuk melatih kemampuan imaginasi - imaginasi bagaimana setiap pilihan akan bermain atau berperan sendiri - yang akan membangkitkan keadaan dalam setiap kemungkinan dari pilihannya.

Pengalaman dini dalam membuat pilihan dan keputusan dapat menolong anak untuk mengembangkan kemampuannya mengambil keputusan sekaligus tanggung jawab yang harus diembannya (risiko). Ini hanya akan terjadi jika pilihannya benar dan anak bertahan pada keputusannya.

Celakanya, orangtua kerap berpikir anaknya belum bisa memutuskan dan harus senantiasa dibantu. Padahal, jika Anda yakin setiap pilihan anak bukan sesuatu yang membahayakan atau bisa mencelakai dirinya, anak akan terlatih untuk membuat keputusan dan menananggung akibat dari pilihannya.

KEKUASAAN TERBATAS
Kendati begitu, ada sejumlah aspek dari kehidupan anak yang tak bisa dan tak perlu dimintau persetujuan dari si kecil. Apa pun juga, untuk sementara waktu hingga ia besar nanti, anak tak dapat memilih. Semisal apakah ia mau atau tidak diberi vaksin polio, harus ke sekolah, tidur tidak larut malam, dan sebagainya.

Nah, dalam hal ini, orang tua tetap harus berperan dan bijaksana mengambil keputusan atas nama anaknya. Yang jelas, anak tidak dapat diberikan kekuasan untuk berpartisipasi dan memutuskan hal-hal penting, terutama yang menyangkut masa depannya.

Jadi jelas, orang tua harus menyadari, anak hanya mempunyai kekuasaan sebanyak/sebatas yang diberikan orang dewasa. Sebab, jika semua hal diserahkan pada anak, justru malah celaka.

Contohnya, karena orang tua malas "bertengkar" dengan anak, akhirnya mengalah saja ketika si kecil yang mengatakan malas pergi ke sekolah. Sesekali mungkin boleh-boleh saja diluluskan karena mungkin Anda berpikir, "Saya saja harus ke kantor 5 hari dalam seminggu, kadang merasa bosan. Apalagi anak kecil." Tapi ingat, jangan terlalu sering mengiyakan apa saja kemauan anak.

Bahaya membiarkan anak untuk mengambil keputusan sendiri tanpa batasan yang jelas, lama-kelamaan akan melahirkan bahaya. Sama halnya seperti jika mengizinkan anak memilih mainannya sendiri atau menonton TV sekehendak hatinya. Memang, membiarkan anak memutuskan pilihannya berarti mengurangi pertengkaran. Tetapi yang harus dipahami, anak belum mampu secara konsisten menyortir apa yang tidak baik untuk dirinya.

Membeli atau memiliki mainan mahal tapi hanya dimainkan sekali dua, sama dengan pemborosan. Begitu juga kalau Anda membiarkan anak memutuskan sendiri, tayangan apa yang akan ditontonnya. Nah, dalam hal ini, kekuasaan untuk memilih dan memutuskan harus tetap berada di tangan orang tua.

Sumber : Nova

Wednesday, November 08, 2006

Akhlaq & Aqidah Istri Idaman

Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel yang berjudul "Istri Idaman Karir Wanita Mulia". Pada pembahasan kali ini akan dipaparkan sedikit mengenai akhlaq bagi seorang Istri dari kalangan kaum muslimin yang mencari kemulian sejati. Semoga kaum muslimah yang membaca artikel ini tersentuh nuraninya dan memperoleh jalan hidayah mana kala selama ini telah terjatuh dalam jurang kenistaan dan jebakan-jebakan musuh Islam.Seorang isteri idaman harus memahami arti pentingnya aqidah islamiyah yang shahihah, karena sah tidaknya suatu amal tergantung kepada benar dan tidaknya aqidah seseorang. Isteri idaman adalah sosok yang selalu bersemangat dalam menuntut ilmu agama sehingga dia dapat mengetahui ilmu-ilmu syar'i baik yang berhubungan dengan aqidah, akhlak maupun dalam hal muamalah sebagaimana semangatnya para shahabiyah dalam menuntut ilmu agama Islam, mereka bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam untuk menghilangkan kebodohan mereka dan beribadah kepada Allah di atas cahaya ilmu.

Sebagaimana riwayat dibawah ini: Dari Abu Said Al Khudri dia berkata: Pernah suatu kali para wanita berkata kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam: "Kaum laki-laki telah mengalahkan kami, maka jadikanlah satu hari untuk kami, Nabi pun menjanjikan satu hari dapat bertemu dengan mereka, kemudian Nabi memberi nasehat dan perintah kepada mereka. Salah satu ucapan beliau kepada mereka adalah: "Tidaklah seorang wanita di antara kalian yang ditinggal mati tiga anaknya, kecuali mereka sebagai penghalang baginya dari api nereka. Seorang wanita bertanya: "Bagaimana kalau hanya dua?" Beliau menjawab: "Juga dua." (HR. Al-Bukhari No 1010) Seorang isteri yang aqidahnya benar akan tercermin dalam tingkah lakunya misalnya:
Dia hanya bersahabat dengan wanita yang baik.
Selalu bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Rabbnya.
Bisa menjadi contoh bagi wanita lainnya.

Akhlak Isteri Idaman.
Berusaha berpegang teguh kepada akhlak-akhlak Islami yaitu: Ceria, pemalu, sabar, lembut tutur katanya dan selalu jujur.
Tidak banyak bicara, tidak suka merusak wanita lain, tidak suka ghibah (menggunjing) dan namimah (adu domba).
Selalu berusaha untuk menjaga hubungan baik dengan isteri suaminya yang lain (madunya) jika suaminya mempunyai isteri lebih dari satu.
Tidak menceritakan rahasia rumah tangga, diantaranya adalah hubungan suami isteri ataupun percekcokan dalam rumah tangga. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam: "Sesungguhnya di antara orang yang terburuk kedudukan-nya disisi Allah pada hari kiamat yaitu laki-laki yang mencumbui isterinya dan isteri mencumbui suaminya kemudian ia sebar luaskan rahasianya." (HR. Muslim 4/157)

Isteri idaman di rumah suaminya
Membantu suaminya dalam kebaikan. Merupakan kebaikan bagi seorang isteri bila mampu mendorong suaminya untuk berbuat baik, misalnya mendo-rong suaminya agar selalu ihsan dan berbakti kepada kedua orang tuanya, sebagaimana firman Allah Ta'ala, yang artinya: "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah." (Al Ahqaf 15)
Membantunya dalam menjalin hubungan baik dengan saudara-saudaranya.
Membantunya dalam ketaatan.
Berdedikasi (semangat hidup) yang tinggi.
Ekonomis dan pandai mengatur rumah tangga.
Bagus didalam mendidik anak.
Penampilan:Di dalam rumah, seorang isteri yang shalehah harus selalu memperhatikan penampilannya di rumah suaminya lebih-lebih jika suaminya berada di sisinya maka Islam sangat menganjurkan untuk berhias dengan hal-hal yang mubah sehingga menyenangkan hati suaminya.Jika keluar rumah, seorang isteri yang sholehah harus memperhati-kan hal-hal berikut: Harus minta izin suami, Harus menutup aurat dan tidak menampakkan perhiasannya, Tidak memakai wangi-wangian, Tidak banyak keluar kecuali untuk tujuan syar'i atau keperluan yang sangat mendesak.

Sumber : media Muslim Info

Istri Idaman Karir wanita Mulia

Sungguh kaum wanita telah melewati suatu masa yang mana mereka ditempatkan pada posisi yang tidak layak, tidak proporsional dan sangat memilukan, tidak ada perlindungan bagi mereka, hak-hak mereka dihancurkan, kemauan mereka dirampas, jiwa mereka dibelenggu, bahkan saat itu mereka berada pada posisi yang amat rendah dan hina. Pada zaman Romawi seorang suami bisa menetapkan hukuman mati kepada istrinya jika suaminya menghendaki, bangsa Romawi menganggap bahwa wanita adalah sama dengan harta dan perabot rumah tangga, sementara bangsa Yahudi menganggap wanita adalah najis atau kotor, dan yang lebih buruk lagi adalah sikap orang Nashrani yang mempertanyakan keberadaan wanita, apakah wanita itu manusia yang memiliki jiwa atau tidak?! Yang pada akhirnya perlakuan buruk ini mencapai puncaknya dengan menganggap wanita sebagai sumber keburukan, di mana wanita dikubur hidup-hidup, sebagaimana yang dilakukan oleh bangsa Arab Jahiliah.

Setelah melalui berbagai macam kebiadaban dan perlakuan pahit sepanjang masa, muncullah cahaya Islam yang menempatkan wanita pada posisi yang adil untuk melindungi kehormatan mereka. Islam memberikan hak-hak wanita secara sempurna tanpa dikurangi, juga meninggikan derajat wanita yang masa sebelumnya mereka dihinakan dan direndahkan sepanjang sejarah. Islam memproklamirkan bahwa wanita adalah manusia sempurna, memberikan hak-haknya secara wajar dan manusiawi serta menjaga mereka agar tidak dijadikan pelampiasan syahwat belaka yang diperlakukan seperti binatang. Islam menjadikan wanita sebagai unsur yang memegang peranan penting dalam membangun masyarakat yang beradab. Untuk mencapai tujuan itu, Islam menjadikan kasih sayang antara suami dan isteri sebagai penjaga kelangsungan hidup berumah tangga. Kecintaan dan kasih sayang seorang wanita kepada suaminya merupakan bukti adanya karakter yang kuat dari sifat alamiah yang ada pada dirinya, sehingga hal itu akan menghindarkan dirinya dari berselingkuh atau mencari perhatian laki-laki lain.

Diantara kebahagian seorang suami adalah dikaruniainya isteri yang shalehah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam, yang artinya: "Dan di antara kebahagiaan adalah wanita shalehah, jika engkau memandangnya maka engkau kagum kepadanya, dan jika engkau pergi darinya (tidak berada di sisinya) engkau akan merasa aman atas dirinya dan hartamu. Dan di antara kesengsaraan adalah wanita yang apabila engkau memandangnya engkau merasa enggan, lalu dia melontarkan kata-kata kotor kepadamu, dan jika engkau pergi darinya engkau tidak merasa aman atas dirinya dan hartamu." (HR. Ibnu Hibban dan lainnya dalam As-Silsilah ash-Shahihah hadits 282)

Dalam sabdanya yang lain, yang artinya: "Dan isteri shalehah yang menolongmu atas persoalan dunia dan agamamu adalah sebaik-sebaik (harta) yang disimpan manusia." (HR. Baihaqi dalam Syu'abul Iman, Shahihul jami' 4285)

Oleh karena itu isteri shalehah adalah idaman bagi setiap suami shaleh di setiap waktu dan tempat. Isteri idaman dia adalah wanita mukminah, wanita shalehah yang jiwanya sebagai cerminan ilmu syar'i yang hanif, aqidahnya murni, akhlaknya agung, dan perangainya baik, untuk mendapatkannya harus diperhatikan hal-hal berikut:

Cara memilih isteri idaman
Memilih wanita karena harta, keturunan, kecantikan dan agamanya sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam, yang artinya: "Wanita itu dinikahi karena empat hal: Hartanya, keturunannya, kecantikan-nya dan agamanya. Maka hendaknya engkau utamakan wanita yang memiliki agama, (jika tidak) niscaya kedua tangan-mu akan berdebu (miskin merana)." (HR.Al-Bukhari, Fathul Bari 9/132)

Dengan memilih wanita yang berasal dari lingkungan yang baik dan karakter yang benar-benar shalehah maka akan menghasilkan ketenangan dalam hidup berumah tangga. Karena adat kebiasaan dan gaya hidup suatu kaum sangat berpengaruh terhadap kepribadiannya.

Diutamakan yang gadis sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam, yang artinya: "(Nikahilah)gadis-gadis sesungguhnya mereka lebih banyak keturunannya, lebih manis tutur katanya dan lebih menerima dengan sedikit(qanaah). dan dalam riwayat lain "Lebih sedikit tipu dayanya". (HR.Ibnu Majah No.1816 dan dalam As Silsilah ash Shahihah , hadits No.623)Diutamakan wanita yang subur atau tidak mandul, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam, yang artinya: "Kawinilah wanita yang penuh cinta dan yang subur peranakannya. Sesung-guhnya aku bangga dengan banyaknya jumlah kalian di antara para nabi pada hari kiamat." (HR. Imam Ahmad 3/245 dari Anas, dikatakan dalam Irwaul Ghalil hadits ini shahih) Bersambung pada Artikel: Akhlaq & Aqidah Istri Idaman

Sumber : Media Muslim Info

Mukminah yang senantiasa sadar

Seseorang yang beriman kepada Alloh ‘Azza wa Jalla akan memiliki kepekaan yang muncul dari keimanannya kepada Alloh ‘Azza wa Jalla. Satu hal yang membedakan wanita muslimah adalah imannya yang mendalam kepada Alloh ‘Azza wa Jalla dan keyakinannya bahwa apapun peristiwa yang terjadi di alam ataupun pada diri manusia, semuanya karena qadha' dan takdir Alloh ‘Azza wa Jalla. Tentunya keyakinan seperti ini akan melahirkan suatu sikap yang benar, yaitu sebuah keyakinan bahwa semua musibah yang menimpa manusia bukan dimaksudkan untuk mencelakakan manusia.

Semua kejadian dan musibah yang terjadi atas pengetahuan dan izin dari Alloh ‘Azza wa Jalla. Kewajiban manusia adalah berusaha meniti jalan kebaikan/kebenaran, mencari faktor-faktor yang dapat mendatangkan amal shalih, bertawakkal dan menyerahkan seluruh urusan kepadaNya.

Kisah Hajar, sebuah kisah mengenai keyakinan seorang wanita yang teguh dalam keimanannya. Kisah Hajar, istri Nabi Ibrahim dan ibunda Ismail. Ia pernah ditinggalkan di Mekkah (dekat Baitullah) dan pada saat itu lembah tersebut tidak ada orang, tidak ada tanaman dan juga tidak ada air. Ia hanya ditemani oleh putranya yang masih bayi dan masih menyusu, Ismail dan juga satu kantong kurma dan satu wadah kulit yang berisi air. Hajar bertanya kepada Nabi Ibrahim “Alloh-kah yang menyuruh engkau berbuat seperti ini wahai Ibrahim?”. Ibrahim menjawab “Benar”, Hajar berkata “Kalau begitu ia tidak akan menyia-nyiakan kami”. Coba kita simak ketika Hajar mengetahui bahwa tindakan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim merupakan perintah dari Alloh, dan ia sangat yakin bahwa Alloh ‘Azza wa Jalla tidak akan mencelakakan dirinya bahkan akan memberikan perlindungan kepadanya. Kisah keteguhan Hajar ini dikenang terus oleh seluruh manusia ketika melakukan ibadah haji dan umrah, yaitu pada saat sa'i dari shafa ke marwa sebanyak 7 kali.

Lihatlah keyakinan Hajar terhadap keputusan dan perintah Alloh ‘Azza wa Jalla. Ia menerima apa yang diperintahkan oleh Alloh ‘Azza wa Jalla. Ketika mendengar perintah dari Alloh ia langsung menerima, tunduk dan taat terhadap perintah Alloh tersebut, sami'na wa ato'na, tanpa ada keraguan sedikit pun. Perintah yang Alloh ‘Azza wa Jalla berikan kepada Hajar sangatlah berat. Bayangkan saja, Ia ditinggalkan di sebuah lembah kering, tandus, tak berpenghuni seorang diri bersama bayinya. Jika hal ini terjadi kepada kita, sangatlah sulit bertahan dalam kondisi seperti itu. Lihatlah perintah Alloh ‘Azza wa Jalla kepada wanita muslimah di zaman sekarang. Tidak sesulit apa yang diperintahkan kepada Hajar. Apakah kita masih tetap enggan untuk melaksanakan perintahNya??.

Terdapat sebuah kisah lagi berkaitan dengan keteguhan iman seorang wanita. Kisah ini berasal dari Abdullah bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya dari kakeknya. Seorang wanita yang tidak mau mencampur susu (barang dagangannya) dengan air, karena perbuatan tersebut adalah tercela dan Amirul-Mukminin (Umar bin Khattab) mengumumkan keputusan tidak boleh mencampur susu dengan air. Ia tidak mau menaatinya di saat ramai dan mendurhakainya di saat sepi, padahal yang memerintahkannya untuk mencampur susu adalah ibunya sendiri. Namun ia tetap pada pendiriannya. Ternyata Umar mendengar percakapan kedua wanita ini, kemudian khalifah menyuruh Aslam untuk menyelidiki mereka berdua. Aslam melaporkan bahwa wanita yang tidak mau mencampurkan susu dengan air itu adalah seorang gadis dan yang berbicara dengannya adalah ibunya. Maka Umar memanggil anaknya dan menawarkan kepada mereka siapa diantara mereka yang mau memperistri gadis ini. Akhirnya Ashim lah yang bersedia memperistri gadis tersebut karena memang dia belum beristri. Lalu Umar mengirim utusan dan menikahlah mereka, dari pernikahan mereka lahirlah seorang putri dan dari putri ini lahirlah Umar bin Abdul Aziz. Yang merupakan cicit dari Umar bin Khattab.

Dari kisah ini kita dapat melihat bagaimana teguhnya keyakinan seorang gadis. Ia tidak mau menuruti perintah ibunya karena memang perintah sang ibu tidak patut untuk ditaati yaitu mancampur susu dengan air.

Imam Ibnu Qoyyim pernah menyatakan bahwa syariat Islam dibangun di atas kemaslahatan bagi diri orang yang mengamalkannya dan bersifat abadi, dapat dilaksanakan olah siapa saja dan kapan saja.

Terkadang dalam menjalankan syariat kita tidak perlu lebih jauh mengetahui faktor-faktor penyebab mengapa suatu syariat diperintah oleh Alloh ‘Azza wa Jalla. Namun ketaatan-lah yang diperlukan dalam menjalankan syariat. Para sahabat ketika suatu syariat diturunkan dan diperintahkan untuk dijalankan tidak pernah mempermasalahkan kenapa syariat tersebut diturunkan, namun yang mereka tanyakan adalah bagaimana cara melaksanakan syariat tersebut. Maka demikian pula hendaknya dengan kita.

Akidah wanita muslimah yang ditegakkan diatas keimanan kepada Alloh ‘Azza wa Jalla akan selalu lurus, bersih dan suci dan tidak akan terlumuri kebodohan, khurafat dan keraguan. Firman Alloh ‘Azza wa Jalla, yang artinya: “Katakanlah 'Siapakah yang ditanganNya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari (adzab)Nya jika kalian mengetahui?' Mereka akan menjawab 'Kepunyaan Alloh'. Katakanlah '(kalau demikian) maka dari jalan manakah kalian ditipu?' “ (QS: Al-Mukminun: 88-89)

Wanita muslimah akan melihat hakikat kehidupan sebagai tempat ujian dan menentukan pilihan. “Katakanlah 'Allohlah yang menghidupkan kalian kemudian mematikan kalian, setelah itu mengumpulkan kalian pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui'”

“Maka apakah kalian mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main (saja), dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS: Al-Mukminun: 115)

“Mahasuci Alloh yang di Tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, yang menjadikannya mati dan hidup supayaDia menguji kalian, siapa diantara kalian yang lebih baik amalnya. Dan, Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS: Al-Mulk: 1-2)

Wanita muslimah juga sangat yakin bahwa segala amal yang dilakukannya akan dibalas di akhirat nanti. Timbangan hisab di hari akhir nanti benar-benar teliti dan tidak lolos dari perhatian Alloh walaupun sebesar biji sawi.

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami menjadi orang-orang yang membuat perhitungan” (QS: Al-Anbiya': 47)

Ditulis Oleh Suparlin Abdurrohman
Sumber : Media Muslim Info

Problematika wanita Pekerja

Wanita karir, dalam segala levelnya, kian hari kian mewabah. Dari posisi pucuk pimpinan negara, top executive, hingga kondektur bus bahkan tukang becak. Hingga kini boleh dibilang nyaris tidak ada jenis profesi yang belum terambah kaum hawa.Nampaknya, wanita telah meninggalkan kehidupannya yang khas pada era agraris. Pada era tersebut ia adalah makhluk rumah sejati. Ia mengasuh anak-anaknya dengan setia, juga berperan dalam perekonomian keluarga dengan aktivitas di ladang-ladang tradisional seputar rumahnya.

Dalam mitos pertanian, wanita adalah petani pertama di muka bumi ini. Sang suami, berkelana dari hutan ke hutan, padang ke padang untuk berburu binatang. Ketika binatang-binatang tertentu ternyata diketahui dapat dipelihara dan diternakkan maka pertanian dikembangkan secara intensif. Wanita pun masih tak beranjak dari posisinya. Mereka tahu kapan menemui suami di ladang, menyusui anak, dan kapan harus menanak nasi dirumah. Dan yang khas, mereka tidak pernah bekerja pada suami orang lain.

Materialisme yang subur pada masa Renaissance telah menggiring manusia pada era industrialisasi. Pandangan baru ini melihat wanita dan laki-laki sama saja kodratnya, yakni sebagai faktor produksi. Hanya saja dengan dilatarbelakangi pertimbangan fisik dan kelas sosial yanmg berlaku upah kerja wanita selalu nomor dua. Kapitalisme menghancurkan industri rumah tangga satu persatu. Satu superpabrik dengan multi produksi cukup untuk satu kota atau negara. Dan manusia pekerja tersedot ke dalamnya, termasuk wanita.Wanita pun akhirnya berduyun-duyun meninggalkan “istananya”, berbaur dengan pria memasuki pabrik untuk menjadi pekerja atau buruh dengan upah rendah. Ketika itu pula, mulai terdengar jerit tangis para balita yang pagi hari sudah kehilangan ibunya.“Dengan bekerja, saya bisa membelikan susu anak saya dan membelikan banyak mainan untuk mereka. Suatu hal yang sulit jika saya hanya mengandalkan gaji suami yang pas-pasan.” Demikian argumen yang sering kita dengar yang sepintas mungkin sangat manusiawi. Namun sayang, harga yang dibayar terlampau mahal dari hanya sekedar susu formula dan mainan anak-anak. Kasih sayang yang hilang, kecemasan, dan ketakutan anak-anak ketika ditinggal sang ibu, akan masuk ke alam bawah sadarnya dan mempengaruhi perkembangan pribadinya hingga kelak dia dewasa.

Pendidikan dien dan akhlak pun merupakan hal yang sangat sulit jika seharian hanya berinteraksi dengan pembantu dan dididik televisi. Lantas, bagaimanakah jadinya generasi ini? Motif yang lain yang lebih tinggi tinggi tingkatannya adalah motif psikologis dan tuntutan untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat. Gerakan emansipasi yang didengungkan wanita barat telah berhasil memancing naluri wanita seantero bumi untuk berusaha menunjukkan eksistensinya. Wanita memang hebat. Banyak diantara wanita yang tidak kalah berhasil bahkan lebih berprestasi daripada kaum pria. Namun, di lain pihak, bisakah para wanita menjadi “super women” yang sukses dalam menjalankan peran gandanya? Jika kemudian statistik menunjukkan angka kriminalitas, perceraian, perselingkuhan meningkat dikarenakan terabaikannya keluarga sebagai basis pendidikan moral yang utama, sungguh, lagi-lagi harga yang dibayar terlalu mahal.

Suatu hal yang dilematis, memang, jika kemudian wanita bekerja didorong oleh tuntutan untuk mengaplikasikan ilmu yang telah ia dapat. Oleh karena itu para wanita muslimah seharusnya mempelajari ilmu yang bermanfaat sesuai dengan kebutuhan wanita dan masyarakat walaupun tidak merupakan keharusan maupun fardu kifayah. Harus ada relevansi antara belajar dengan kebutuhannya sehingga wanita tidak menuntut sesuatu yang tidak diperlukan olehnya atau masyarakatnya. Jika keadaan memaksa hingga wanita musti bekerja di luar rumah, Islam telah memberikan batasannya. Yaitu: harus seizin walinya (ayah atau suami) untuk pekerjaan mubah, seperti mengajar anak putri atau menjadi perawat bagi pasien wanita; Tidak ikhtilat (campur baur) dengan pria atau berkhlawat dengan pria; Tidak bertabarruj dan memperlihatkan perhiasan atau kecantikannya; Tidak bersolek dan memekai parfum; Memakai hijab yang sesuai syari’at.Bagaimanapun juga, tempat bekerja wanita yang sesungguhnya dan yang paling mulia adalah di dalam rumahnya.

Disanalah wanita akan senantiasa terlindungi dan dapat lebih dekat dengan Allah manakala menetap di rumah, mencari ridha Allah dengan cara beribadah kepada-Nya, mencurahkan segenap kemampuan untuk mendidik sang buah hati, mentaati suami, dan memberikan kasih sayang kepada anggota keluarga.Wanita yang hebat, bukanlah mereka yang harus bersaing berebut dunia dengan kaum pria. Wanita yang sukses adalah yang bertanggung jawab dengan tugas utama yang dianugerhakan Allah atasnya: mendidik generasi tangguh masa depan.

Sumber : Media Muslim Info

Dongeng Dalam Pendidikan

Bangsa koruptor, bangsa penipu, bangsa urakan, bangsa semau gue, bangsa tidak tertib..dan berbagai sebutan lain yang ditujukan pada bangsa kita sendiri yaitu Indonesia yang katanya lebih kurang 185 juta penduduknya bergama ISLAM !!! Bagaimana ini bisa terjadi ??!! Mengapa ?!!!

Jawabnya bisa banyak tapi...penulis membahas salah satunya saja yaitu : Pendidikan khususnya yang dilakukan oleh para ibu...ingatlah semboyan dari orang-orang arab Ibu adalah sekolah! Ibu adalah sosok perempuan yang tabah dan sabar untuk tidak pernah menurunkan gendongannya anaknya hingga lebih dari sembilan bulan. ..Dia yang berani mati mengeluarkan kita dari rahimnya dengan taruhan nyawa...yang melahirkan kita semua ..Ibu adalah insan yang begitu banyak jasanya terhadap berhasilnya sang anak dalam kehidupannya tapi juga bisa sebaliknya, ibu adalah manusia menjadi faktor terhadap hancurnya sang anak dalam kehidupannya, karena semua itu tak lepas dari peran ibu sebagai orang tuanya...Sebagaimana hadits Rasululloh sallallahu''alaihi wa sallam yang artinya: "Setiap bayi terlahir dalam keadaan fithrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya, Yahudi, Nasrani ataupun Majusi.." (HR: Bukhari)

Ulama mengartikan fitrah itu adalah rasa cinta kepada dienul Al-Islam, menerima, dan menginginkan kebenaran, dan mengakui adanya Robb yang merupakan bakat dari setiap anak, namun peran pendidikan orang tuanya-lah yang menjadikan dia menjadi beraqidah, beribadah, berahklaq selain Islam. Sekarang coba mari kita lihat salah satu bentuk pendidikan anak yang mudah dilakukan baik orang tuanya pembantu rumah tangga, buruh pabrik, petani, pegawai kantor, pedagang, menteri, bahkan presiden...Yaitu berkisah DONGENG.

Mendongeng adalah suatu aktivitas bercerita suatu kisah entah khayal atau nyata yang biasanya diceritakan pada masa kanak-kanak. Dan biasanya cerita dongeng itu masih teringat oleh kita hingga dewasa karena di sana kita masih kecil dan minat mendengar dongeng kuat sekali alias kemampuan belajar tentang sesuatu di luar kita cukup besar. Sebagaimana pepatah Belajar di waktu muda seperti menulis di atas batu sedangkan belajar di waktu tua seperti menulis di permukaan air.Sekarang ada pertanyaan dari penulis untuk pembaca . Pernahkah anda mendengar kisah akhir yang mengenaskan dari sang kancil....tentu tidak pernah alias selalu lolos dari hukuman maut atas kecerdikannya (TIPUANNYA). Oleh karena itu perlu kami tengahkan nasehat Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu semoga Alloh Ta'ala merahmatinya tentang kisah-kisah.

Kisah mempunyai pengaruh yang kuat terhadap jiwa, maka seorang pendidik selayaknya memperbanyak kisah-kisa yang bermanfaaat. dan itu banyak sekali terdapat dalam Al-Quran Al Karim dan sunnah-sunnah yang suci diantaranya, Kisah Ashabul Kahfi (penghuni gua), bertujuan untuk membentuk generasi yang beriman kepada Alloh, cinta kepada tauhid dan membenci kepada kemusyrikan. Kisah Isa alahi wasallam, bertujuan untuk menjelaskan bahwa beliau adalah hamba Allah dan bukan anak Allah sebagaimana anggapan kaum Nashrani, Kisah Yusuf alahi sallam, diantara tujuannya adalah untuk memperingatkan agar jangan sampai terjadi pergaulan campur aduk antara laki-laki dan perempuan, sebab akan membawa akibat yang sangat jelek, Kisah Yunus alahi wasallam, bertujuan untuk menekankan agar selalu ber-isti''anah (meminta pertolongan). Hanya kepada Allah saja lebih-lebih ketika ditimpa musibah. Kisah orang-orang yang terperangkap dalam gua yaitu kisah yang diceritakan oleh Nabi sallallahu''alaihi wa sallam untuk mengajarkan kepada para sahabatnya tentang bertawassul kepada Alloh dengan amal-amal sholeh seperti ridho kepada orang tua, memenuhi hak-hak pemiliknya, dan meninggalkan zina karena takut karena Alloh. Dan sunnah nabawiyah penuh dengan kisah-kisah yang bermanfaaat.

Singkat kata, maka hendaknya semua pengajar/pembina/pendidik memperbanyak kisah-kisah yang bermanfaat kepada anak didiknya, sebab kisah-kisah ini merupakan pembantu terbaik bagi pembinaan generasi. Disamping itu, hendaknya mereka harus berhati-hati, jangan sampai membawakan kisah-kisah jelek yang akan mendorong anak-anak didik mengambil pengalaman untuk melakukan pencurian, tindakan-tindakan keji, dan penyimpangan-penyimpangan tingkah laku. Sekarang coba kita renungkan bagaimanakah kalau kisah seperti Teletubies yang tokoh-tokohnya tidak jelas karakter wanita- prianya juga pembimbingnya bukan bapak ibu tapi dewa matahari(si bayi) dan si penyedot debu ... Sinchan dengan gaya tololnya dan kesukaan pada hal ''ngeres''/porno apalagi bapaknya dan ibunya yang kejam....Power Rangers, Ksatria Baja Hitam, dan semacamnya yang menggambarkan bahwa segala permasalahan hanya bisa dipecahkan dengan kekerasan/perkelahian...Doraemon dan tokoh-tokohnya yang pemalas (si Nobita), kejam (si Giant), licik dan sombong (si Tsuneo), penolong bak Dewa Serba Bisa (si Doraemon)..Tom & Jery, Donal Bebek dan semacamnya dikisahkan pada anak-anak..yang penuh adegan kekerasan dan penipuan untuk menghancurkan musuh di ajarkan pada anak didik kita. BAGAIMANAKAH NASIB GENERASI PENGGEMAR KISAH-KISAH INI !!!.

(Sumber Rujukan: Petunjuk Praktis bagi Pendidik Muslim ed 1, Muhammad bin Jamil Zainu, 1418 H)